Dimensi Dakwah


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
           Secara subtantif dakwah Islam sudah ada berbarengan dengan adanya Islam sebagai pesan dakwah para nabi dan rasul Allah SWT. Para nabi sendiri mengajak  umat manusia menuju kejalan yang yang benar dengan cara berdakwah. Bahkan nabi Muhammad SAW menggunakan dakwah untuk menyebarkan agama islam. Walaupun dakwah sudah dikenal dari zaman dahulu penjelasan subtantif dakwah pun sudah banyak dilakukan oleh para ulama dalam karya tulisnya. Namun kondisinya masih berserakan belum terfokuskan pada karya tulis ilmiah kedakwahan sebagai sebuah disiplin ilmu. Ilmu dakwah dalam ukuran sekarang ini termasuk ilmu baru yang setiap saat berkembang.
Pemikiran Imam Ghazali mengenai bab “Amar ma’ruf nahyi munkar” merupakan cikal bakal keilmuan dakwah dan didalami setelah munculnya universitas Islam. Pada kesempatan ini akan menjelaskan tentang ilmu dakwah. Serta melihat pengertian ilmu-ilmu lain yang ruang lingkupnya hampir sama dengan dakwah seperti  : psyikologi, komunikasi, dan antropologi adalah ilmu yang sudah mapan.
B. Rumusan Masalah
          Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.    Apa pengertian Ilmu Dakwah dan Dakwah ?
2.    Adakah ilmu lain yang hampir sama dengan Ilmu Dakwah?
3.    Apa yang dimaksud Dimensi Kerisalahan dan Dimensi Kerahmatan serta penjelasannya secara rinci?
C. Tujuan Penulisan
          Tujuan yang akan diambil dari pembuatan makalah ini adalah :
1.    Mengetahui lebih lanjut mengenai Ilmu Dakwah dan Dakwah.
2.    Mengetahui beberapa ilmu yang ruang lingkupnya sama dengan Ilmu Dakwah.
3.    Mengetahui rincian-rincian mengenai Dimensi Kerisalahan dan Dimensi Kerahmatan.



D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah studi pustaka dan  browsing lewat internet yang menyajikan berbagai bahan sumber tentang makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu Dakwah
Ilmu dakwah menurut Dr. H. Sukardi Sambas, M.si adalah ilmu yang membahas tentang tata cara dakwah islam yang dikembangkan dengan pendekatan ilmiah (Istinbath merupakan metode berdasarkan hadis dan sunnah, berdasarkan ilmu yang sudah ada dan berdasarkan keadaan dilapangan menegakan kebenaran dan keadilan). Atau sejumlah ilmu yang bertujuan untuk merubah pemahaman, sikap, perilaku mad’u kearah yang sesuai dengan pesan dakwah dalam rangka memperoleh ridha Allah SWT yang tersusun secara sistematis, logis, empiris, dan universal berdasarkan hasil pemikiran manusia.
Dakwah adalah sebagai suatu proses mengajak baik dalam bentuk tulisan, tingkah laku yang dilakukan secara sadar terhadap individu, kelompok atau umat berdasarkan ajaran islam kepada kebaikan dan kebahagiaan dunia akhirat. Supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran  agama sebagai pesan yang disampaikan kepadanya tanpa unsur-unsur paksaan.
B. Ilmu Lain Yang Mempunyai Ruang Lingkup Sama Dengan Dakwah
1.      Pesikologi
Pesikologi terdiri dari 2 macam kata psyce yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Maka dapat disimpulkan bahwa ilmu pesikologi adalah ilmu pengetahuan tentang jiwa. Pesikologi sebagai ilmu tidak lepas dari segi perkembangan dari segi pesikologi itu sendiri serta ilmu-ilmu yang lain sesuai dengan perkembangan dan perubahankeadaan.
2.      Ilmu Komunikasi
Ilmu komunikasi adalah teori keilmuan tentang cara menyampaikan pesan kepada sasaran efektif dan efisien. Komunikasi merupakan suatuproses hubungan antar individu atau organisasi dalam menyampaikan informasi dengan menggunakan lambang- lambang yang sudah saling dimengerti dan disetujui.
3.      Antropologi
Adalah suatu ilmu yang bertujuan mempelajari dan kebudayaan dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tingkat- tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
C. Dimensi Dakwah
Dalam dakwah terdapat dua dimensi besar, pertama mencakup penyampaian pesan kebenaran, yaitu dimensi kerisalahan (bi ahsan al-qawl), serta kedua mencakup pengaplikasian nilai kebenaran yang merupakan dimensi kerahmatan (bi ahsan al amal).
a.      Dimensi kerisalahan
Dimensi kerisalahan merupakan tuntutan Q.S Al-Maidah 67 dan Al-Imran 104, dengan memerankan tugas rasul untuk menyeru agar manusia lebih mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan islam sebagai pandangan hidupnya. Dengan demikian dakwah sedang mengarah pada perubahan perilaku manusia ke arah yang islami, yaitu gemar menunaikan islam. Perubahan itu terjadi apabila kegiatan dakwah dapat mempengaruhi tata nilai yang dianut oleh individu atau masyarakat. Dalam hal ini Islam merupakan sumber nilai, dan dakwah sebagai peroses alih nilai.
Dalam dimensi ini terdapat dua bebtuk turunan, yaitu :
1.      Irsyad ialah penyebarluasaan ajaran Islam yang sangat sepesifik pada sasaran tertentu. Memiliki makna internalisasi, yaitu peroses penaklukan ilham taqwa terhadap ilham fujur dan tujuannya agar diri sendiri menjadi matang. Irsyad juga memiliki makna transmisi, yaitu peroses peroses memberitahukan dan membingbing terhadap individu, dua orang, tiga orang atau kelompok kecil atau memberikan solusi atas permasalahan kejiwaan yang dihadapinya.
2.      Tabligh merupakan suatu penyebarluasan ajaran islam yang memiliki ciri-ciri tertentu.
Bersipat :
Insidental, oral, massal, seremonial, bahkan kolosial, dan terbuka.
Berhubungan :
Dengan peristiwa penting dalam kehidupan secara individual atau kolektif.
Penyebarluasannya :
Melalui sarana pemancaran, atau tranmisi menggunakan eletromagnetik, yang diterima oleh pesawat radio atau televisi.
Tabligh juga bemakna difusi, yaitu peroses penyebarluasan ajaran islam dengan bahasa lisan dan tulisan. Target kegiatan ini adalah mengenalkan Islam.
b.      Dimensi Kerahmatan
Dimensi Kerahmatan Mengacu pada firman Allah, Q.S. Al-Anbiya: 107. Dakwah kerahmatan ini merupakan upaya mengaktualisasikan Islam sebagai rahmat (jalan hidup yang mensejahterakan, membahagiakan dan sebagainya) dalam kehidupan umat manusia. Dalam dimensi kerisalahan “Mengenalkan Islam”  maka dalam kerahmatan ini merupakan upaya mewujudkan islam dalam kehidupan.
Dalam hal ini yang dituntut dan dituju ialah umat islam secara terus-menerus berperoses untuk membuktikan validitas Isal yang telah diklaim sebagai rahmatan lil alamin. Berupaya untuk menjabarkan nilai-nilai islam normatif (dalam Qur’an dan Sunnah) Islam menjadi konsep-konsep kehidupan yang dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari, dan mengupayakan supaya dapat dengan mudah diterapkan pada kehidupan nyata.  Ada dua bentuk dakwah lain, yaitu :
1.      Tadbir ialah sosialisasi ajaran Islam kepada mad’u dengan mengoptimalkan fungsi lembaga atau organisasi dakwah formal maupun non formal, serta mencetak da’i profesional yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mencakup makna institusionalisasi yaitu peroses mengubah ajaran Islam menjadi pengamalan, berupa pelembagaan, pengorganisasian serta pengelolaan.
2.      Tathwir ialah sosialisasi ajaran Islam kepada masyarakat untuk mempertinggi derajat kesalehan perilaku individu dan kelompok, sehingga dapat memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Mencakup transformasi, yaitu peroses pengamalan ajaran Islam menjadi pengamalan, berupa pemberdayaan sumberdaya insani, lingkungan hidup dan ekonomi.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari hasil kajian makalah yang telah di buat mulai dari pendahuluan, kajian materi dari beberapa literatur atau sumber yang penulis peroleh serta data-data yang mendukung terhadap makalah ini. Kajian makalah ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagi berikut:
1.       Ilmu dakwah adalah ilmu yang membahas tentang tata cara dakwah Islam yang dikembangkan dengan pendekatan ilmiah.
2.       Dakwah adalah sebagai suatu proses mengajak terhadap individu, kelompok atau umat berdasarkan ajaran islam kepada kebaikan dan kebahagiaan dunia akhirat
4.      Ilmu yang ruang lingkupnya sama dengan Ilmu Dakwah Ialah : Pesikologi, Ilmu Komunikasi, Antropologi
5.       Dalam dakwah terdapat dua dimensi besar yaitu dimensi kerisalahan (bi ahsan al-qawl) dan dimensi kerahmatan (bi ahsan al amal).
6.       Dimensi kerisalahan merupakan tuntutan Q.S Al-Maidah 67 dan Al-Imran 104, dengan memerankan tugas rasul untuk menyeru agar manusia lebih mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan islam sebagai pandangan hidupnya. Sedangkan Dimensi Kerahmatan Mengacu pada firman Allah, Q.S. Al-Anbiya: 107. Dakwah kerahmatan ini merupakan upaya mengaktualisasikan Islam sebagai rahmat (jalan hidup yang mensejahterakan, membahagiakan dan sebagainya) dalam kehidupan umat manusia.
B.     Penutup
            Demikian makalah ini saya buat bertujuan untuk melengkapi tugas mandiri dan memperkaya wawasan dalam bidang Ilmu Dakwah dan cara pengamalannya. Semoga tulisan ini bisa menjadi pertimbangan dan kiranya dapat menarik perhatian serta bermanfaat bagi semua pihak.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Anas, Paradikma Dakwah Kontemporer, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 2006
Koetjaraningrat, Pengamat Ilmu Antropologi, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1990
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, Pustaka Pelajar, Semarang, 2003
Prof. HM. Arifin, M.Ed, Pesikologi dakwah Suatu Pengantar Studi, Bumi Aksara , Jakarta,1997
Aep Kusnawan, M.Ag, Dimensi Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009


Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Resume Ushul Fiqih


PENGERTIAN USHUL FIQIH
1.        Pengertian Ushul Fiqih
Fiqih secara etimologi “Pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal”. Sedangkan secara terminologi fiqih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
 Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara gelobal dengan seluk beluknya dan metode pengaliannya..
2.        Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan Fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Walau ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil.
Dengan demikian, dapat dikatakan dalil sebagai pohon yang melahirkan buah, sdangkan fikih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
3.        Fungsi Ushul Fiqih
Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan melaikan hanya sebagai sarana, fungsi Ushul Fiqih :
1)        Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.
2)        Mengambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara secara tepat, sedang bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengkuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid.
3)        Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode-metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai permasalahan baru.
4)         Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.
5)        Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
6)        Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan.
SEJARAH PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
1.        Pembukaan Ushul Fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan Ushul Fiqih adalah perkembangan wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Para ulama islam sangat membutuhakn kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetpkan hukum.
Jika dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqih seblum dibukukan adalah para sahabat dan tabi’in. Yang diperselisihkan adalah orang pertama yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqih, untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisanya. Ada dua teori yang digunakan, yakni :
·           Merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kidahnya.
·           Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong mujtahid untuk meng-istinbath, tanpa terkait oleh pendapat atau pemahaman sejalan maupun yang bertentangan.
Jalaluddin As-syuti berkata :”disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama pada ilmu Ushul Fiqih. Adapun Maliki hanya menunjukan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian ulama-ulama lain, seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan (Al-Hawaji, II : 404). Dapat disimpulkan bahwa kitab Al-Risalah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih.
2.        Tahaf-Tahaf  Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besar Perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu :
a)        Tahap awal (abad 3 H)
Di bawah pemerintahan Abbasyiah  Wilayah islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa pada abad ini adalah: Al-Ma’mun (w.218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H) Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan islam, yang dimulai pada masa pemerintahan Khalifa Ar-Rasyid. Ditandai dengan timbulnya semangat penerjemah dikalangan Ilmuan muslim. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). Ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas pembahasannya. Hasil pemikiran itu berhasil mengembangkan bidang fiqih, yang mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqih yaitu Ushul Fiqih.
Pada abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang meletakan dasar berdirinya madzhab-madzhab fiqih, sehingga para pengikut mereka semakin menunjukan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran Ushul Fiqih dari para imamnya.
Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode masing-masing aliran semakin mendorong semangat pengkajian ilmiah dikalangan ulama abad 3 H dan semangat ini berlanjut dan semakin berkembang pada abad 4 H.
b)       Tahap Perkembangan (Abad 4 H)
Pada abad ini merupakan permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah dalam bidang politik. Dinasti Abbasyiah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang dipimpin oleh seorang sultan. Perkembangan ilmu keislaman pada abad ini jauh lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena masing-masing penguasa ingin memajukan, memakmurkan dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negrinya.
Khusus dibidang pemikiran fiqih Islam abad ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan untuk melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid, karena karena tiap-tiap pengikut tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna untuk menyempurnakan apa yang dirintis pendahulunya. Usaha mereka antara lain :
1)      Memperjelas ‘illat-illat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam mereka; mereka itu yang disebut ‘ulama takhriz;
2)      Men-tarjih-kan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayat dan dirayah;
3)       Setiap golongan mendukung madzhab-nya sendiri dan men-tarjih-kan dalam berbagai masalah khilafiyah.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup. Akibat yang ditimbulkan sebagai berikut :
1)        Kegiatan para ulama terbatas, mereka cendrung men-syarah-kan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya;
2)        Menhimpun maslah-masalah furu’ yang banyak dalam uraian yang singkat;
3)        Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Kitab-kitab yang paling terkenal diantaranya :
1)        Kitab Ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadilah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 340 H.).
2)        Kitab Al-Fushul Fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim yang dikenal dengan Al-Jashshasa (305-370 H.).
3)        Kitab Bayan Kasf Al-Ahfaz, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ciri khas perkembangan Ushul Fiqih pada abad ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh  dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.
c)        Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H.)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai lahirnya daulah-daulah kecil, membawa arti pada perkembangan peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perhatian lebih dar para pengusanya terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya ; antaralain Al-Baqilani, Al-Qadhi Abd. Al-jabar, Abd. Al-Wahab Al-Bagdhdadi, dan lain-lain. Mereka lah pelopor keilmuan islam pada zaman itu.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang ditulis pada zaman ini, dismping mencerminkan adanya adanya kitab ushul fiqih pada tiap madzhab, juga menunjukan adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran Hanafiyah dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakalimin. Kitab-kitab Ushul Fiqih yang paling penting antara lain :
a)      Kiitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-Adl wa At-Tahwid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H./1024 H.).
b)      Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Husain Al-Bashri (w. 436 H./1044 M.).
c)      Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalaf Al-Farra (w. 458/1065 M.).
d)     Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Ma’ali Abd. Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juaini Imam Al-Haramain (w. 478 H./1094 M.).
e)      Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.). 
a.        Peran Ushul Fiqih Dalam Pengembangan Fiqih Islam
Target yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqih ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuanya untuk menegtahui metode istinbath hukum dari dalil dalilnya dengan jalan yang benar.
Target study fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Bagi non-mujtahid yang mempelajari fiqih islam target nya ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjih dan men-takhrij pendapat imam madzhab tersebut.
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddamah berkata, “Sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syariah yang termulia, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidah nya.” Para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih.
b.        Aliran-Aliran Ushul Fiqih
Aliran pertama disebut aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini mengemban Ushul Fiqih secara teoritis murni, begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dam madzhab, sehingga adakalanya sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Pada kenyataannya pada kalangan syafi’iyah sendiri pernah terjadi pertentangan.
Kitab setandar aliran ini antara lain : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’I) , Al-Mu’tamad (Abu Al-Husain Muhammad Ibnu A’li Al-Bashri), Al-Burhan fi Ushul Fiqih (Imam Al-Haramain Al-Juwaini), Al-mankhul min ta’liqat Al-Ushul, Shifa Al-Ghalil fi bayan asy-syabah wa Al-mukhil wa Masalik At-ta’lil, Al-Mushfa fi ilmi Al-Ushul (ketiganya karya Imam Abu Hamid Al-Gazali)
Aliran kedua dikenal dengan aliran Fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan madzhab fuqaha karena dalam menyusun teorinya banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Aliran ini berusaha menerapkan kaidah-kaidah yang mereka sususn pada furu’. Jika sulit diterapkan mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan.
Kitab standar aliran ini antara lain : Kitab Al-Ushul (Imam Abu Hasan Al-Karkhi), Kitab Al-Ushul (Abu Bakar Al-Jashshash), Ushul Al-Sarakhsi (Imam Al-Sarakhsi), Ta’sis An-Nazhar (Imam Abu Zaid Al-Dabusi), dan Al-Kasyaf Al-Asrar (imam Al-Bazdawi).
Kitab-kitab Ushul yang menggabungkan kedua teori diatas antara lain:
1)        At-Tahrir, disusun oleh Kamal Ad-Din Ibnu Al-Human Alhanafi (w.861 H.)
2)        Tangqih Al-Ushul, disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah (w.747 H.)
3)        Jam’u Al-jawami, disususn olehTaj Ad-Din Abd Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’I (w.771 H.)
4)        Musallam Ats-Tsubut, disusun oleh Muhibullah Abd Al-Syakur (w. 1119 H.)
Pada abad 8 muncul Imam Asy-Syatibhi yang menyusun kitab Al-Muafaqat fi Al-Ushul Asy-Syari’ah. Pembahasan yang dikemukakannya berhasil memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul menganggap sebagai kitab Ushul Fiqih kontemporer yang komperhensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.
OBJEK KAJIAN
USHUL FIQIH DAN FIQIH
1.        Objek Kajian Ushul Fiqih
Objek bahasan Ushul Fiqh adalah cara-cara, metode-metode, kaidah-kaidah untuk menggali hukum atau untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syari’at (firman Allah dan sabda Rasull).
Menurut pendapat Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, membagi objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
1)      Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkumfih, dan mahkum ‘laih;
2)      pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum;
3)      pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan
4)      pembahasan ijtihad
2.        Objek Kajian Fikih
Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat yang mendasar dari dalil-dalil syara’dan sifat-sifat itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global (umum). Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’I (terinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan hukum fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukalaf. Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah menganalisis satu persatu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan mukalaf, manggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Empat persoalan objek pembahasan Fiqih:
1)        Hukum Syara’;
2)        Hakim dan dalil-dalilnya;
3)        Perbuatan mukalaf, dan
4)        Mukalaf.
TUJUAN MENGKAJI
FIQIH DAN USHUL FIQIH
1.        Tujuan Mempelajari Fiqih:
Tujuan mempelajari fiqih ialah untuk menerapkan hukum syara’ pada setiap perkataan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan- ketentuan yang dipergunakan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa, dan bagi setiap mukallaf akan mengetahui hukum syara’ pada setiap perkataan dan perbuatan yang mereka lakukan.
Selain itu, tujuan mempelajari fiqih lainnya yaitu untuk menerapkan hukum- hukum syariat islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia, seperti rujukan seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang Mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syariat dalam ucapan dan perbuatannya.

2.        Tujuan mepelajari Ushul Fiqih:
a.         Memberikan pengertaan dasar tentang kaidah-kaidah dan metodelogi para ulama mujtahid  dalam menggali hukum.
b.         Memberikan gambaran mengenai persyaratan yang harus dikuasai dan dimiliki seorang mujtahid.
c.         Memberikan bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai macam metode yang dikembangkan para mujtahid sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.
d.        Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan hadis.
e.         Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat digunakan untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
f.          Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan.
SUMBER HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI DAN TIDAK DISEPAKATI
A.      Sumber-Sumber Hukum Yang Disepakati
1.        Al-quran
Alquran adalah kumpulan firman allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa arab.
a.       Pokok-pokok isi al-quran ada 5, yaitu :
1)      Tauhid ( mengesakan tuhan )
2)      Ibadah
3)      Janji dan ancaman
4)      Jalan-jalan mencapai kebahagian dunia maupun akhirat
5)      Riwayat dan cerita
b.      Hukum-hukum yang ada dalam al-quran
Hukum-hukum yang ada dalam al-quran, dapat dibagi dua yaitu :
1)      Hukum-hukum yang mengatur perhubungan manusia dengan tuhannya ( allah ), yang disebut ibadah.
Ibadah ini dibagi menjadi tiga, yaitu :
ü  Yang bersifat ibadah semata-mata, yaitu shalat dan puasa.
ü  Yang bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat, yaitu zakat.
ü  Yang bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu haji.
2)      Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia ( perhubungan sesama manusia ), yaitu yang disebut mu’amalat ( dalam arti yang luas ).
Hukum macam kedua ini dibagi empat, yaitu :
ü  Yang berhubungan dengan jihad
ü  Yang berhubungan dengan rumah tangga, seperti kawin, cerai dan lain-lain.
ü  Yang berhubungan dengan pergaulan hidup manusia, seperti jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain.
ü  Yang berhubungan dengan soal hukuman terhadap kejahatan, seperti qisas, hudud dan lain-lain.
c.       Dasar-dasar al-quran dalam membuat hukum, dalam mengadakan perintah dan larangan, quran selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu :
1)        Tidak memberatkan atau menyusahkan.
2)        Tidak memperbanyak tuntutan ( beban ).
3)        Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan hukum.
2.        Sunah
Sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda rasulullah SAW yang berbunyi :
من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل بها من بعده
“ barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya “.
Secara terminology, pengertian sunah:
1)      Menurut Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut ahli fiqh hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
2)      Menurut Ilmu ushul fiqh, menurut ulama ahli ushul fiqih sunah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi SAW berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3)      Menurut Ilmu hadits, menurut para ahli hadits sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
a.       Pembagian sunah
ü  Sunah qauliyah, yaitu perkataan-perkataan nabi.
ü  Sunah fi’liyah, yaitu perbuatan-perbuatan nabi.
ü  Sunah taqririyah, yaitu ketetapan nabi.
ü  Sunah hammiyah, yaitu hal yang hendak diperbuat nabi, tetapi belum sampai diperbuatnya.
b.      Kedudukan sunah
ü  Sunah sebagai penguat al-quran.
ü  Sunah sebagai penjelas al-quran.
ü  Sunah sebagai pembuat syari’at.
B.       Sumber-Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
1.        Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah bermaksud atau berniat, dan kesepakatan terhadap sesuatu. Sedangkan Ijma’ menurut istilah adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada sesuatu masa atas sesuatu hukum syara’.
a.       Macam-macam ijma’
1)      Ijma’ umat dibagi menjadi dua, yaitu :
ü  Ijma’ qauli adalah suatu ijma’ dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangan persetujuan atas pendapat mujtahid lain dimasanya. Ijma’ ini juga disebut ijma’ bayani atau ijma’ qat’I.
ü  Ijma’ sukuti adalah suatu ijma’ dimana para ahli ijtihad diam, tidak mengatakan pendapatnya. Dan diam di sini dianggap menyetujui.
2)      Ijma’ sahabat, yaitu ijma yang dikeluarkan oleh para sahabat.
3)      Ijma’ khalifah yang empat
4)      Ijma’ Abu Bakar dan Umar
5)      Ijma’ ulama Madinah
6)      Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
7)      Ijma’ itrah (ahl al-bait atau kaum Syi’ah
2.        Qiyas
Qiyas menurut bahasa berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan”  artinya mengukur dan ukuran. Sedangkan qiyas menurut istilah adalah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
a.       Rukun qiyas
1)      Ashl (pokok), yaitu yang menjadi ukuran (maqis-alaih) atau tempat menyerupakan (al-musyabbah bih).
2)      Far’un (cabang), yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan (al-musyabbah).
3)      Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya.
4)      Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.
b.      Pembagian qiyas
1)      Qiyas illat, adalah mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan illatnya. Qiyas illat dibagi menjadi 2, yaitu :
ü  Qiyas jali, yaitu kalau illat tersebut berdasarkan dalil yang pasti yang tidak ada kemungkinan lain selain untuk menunjukan illat. Dan Qiyas jali dibagi 3, yaitu :
·         Dijelaskan dengan kata-kata yang menunjukan illat.
·         Qiyas awlawi (fahwal khitab).
·         Qiyas musawi (lahnul khitab).
ü  Qiyas khafi, yaitu kalau illat tersebut berdasarkan dalil yang mungkin bisa dijadikan illat, mungkin pula bukan sebagai illat. Dan qiyas khafi dibagi 2, yaitu:
·         Illat diketahui dari kata-kata yang zahir.
·         Illat diketahui dengan penyelidikan.
2)      Qiyas dalalah, adalah suatu qiyas dimana illat tidak disebutkan. Yang disebutkan hanyalah hal-hal yang menunjukan adanya illat tersebut (dalil illat).
3)      Qiyas syibih, adalah qiyas dimana cabang bisa diqiyaskan kepada dua pokok, maka cabang tersebut diqiyaskan dengan pokok yang banyak persamaannya.
3.        Istishhab
a.       Pengertian
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai mendapatkan dalil yang menunjukan pada perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai menunjukan dalil yang menunjukan perubahannya.
b.      Kehujahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Istishab juga telah dijadikan dasar bagi perinsip-prinsip syariat. Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalilah yang tetap menetapkan hukum tersebut.
c.       Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
4.        Istihsan
a.       Pengertian
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
b.      Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.
5.        Mashlahah mursalah
a.       Pengertian
Menurut bahasa al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Sedangkam menurut istilah Asy-Syatibi menurut  al-Maslahah al-Mursalah  adalah setiap perinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.
b.      Objek al-Maslahah al-Mursalah
al-Maslahah al-Mursalah  itu difokuskan pada lapangan yang tidak terdapat pada nash, baik dalam al-Quran maupun As-Sunnah  yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar.
c.       Syarat-syarat mashlahah mursalah
1)      Hanya berlaku dalam muamalat.
2)      Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal.
3)      Mashlahah adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
6.        Urf
a.       Pengertian
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
b.      Macam-macam ‘urf
ü  ‘urf sahih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’
ü  ‘urf fasid adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau membatalkan yang wajib menghalalkan yang haram.
c.       Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nash.
7.        Dzari’ah
a.       Pengertian
Dzari’ah menurut bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya ibnu qayyim aj-jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sad adz-dzari’ah ( yang dilarang ), dan fath adz-dzari’ah ( yang dianjurkan ).
b.      Sadd Adz-Dzari’ah
Sadd Adz-Dzari’ah adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
a.       Macam-macam dzari’ah
1)      Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatan
2)      Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
8.        Madzhab shahaby
a.       Pengertian
Madzhab shahaby (pendapat sahabat) tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini sudah disepakati, yang masih diperselisihkan ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’in dan orang-orang yang sesudah mereka. Dalam hal itu ada tiga pendapat.
®       Pendapat pertama :
Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah sama sekali. Demikianlah pendapat jumhur. Perkataan seseorang mujtahid bukanlah suatu dalil yang dapat berdiri sendiri.
®    Pendapat kedua :
Pendapat sahabat menjadi hujjah dan didahulukan daripada qiyas. Demikianlah pendapat malik, golongan hanfiyah dan syafi’iyah. Bahkan ahmad bin hambali mendahulukan pendapat sahabat daripada hadits mursal dan hadits dha’if.
®    Pendapat ketiga :
®    Pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas. Jadi pendapat sahabat tersebut didahulukan daripada qiyas, yang tidak disertai pendapat sahabat.
Jadi, intinya pendapat sahabat tidak menjadi hujjah.
AMM DAN KHASH
A.      Pengertian ‘Amm
Menurut etimologi adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ artinya : mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas). Sedangkan menurut terminologi lafazh ‘amm adalah lafazh yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
B.       Dilalah lafazh ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh ‘amm yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum mencakup satuan-satuannya.
Menurut Jumhur Ulama, (Maliki, Syafi’iyyah, dan Hanabilah), dilalah ‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i.
C.       Pengertian Khash
Menurut Al-Bazdawi, khash adalah: setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).
D.      Hukum Lafazh Khash
Apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
E.       Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
F.        Macam-Macam Lafadz Khas
Lafazh Khash itu bentuknya banyak, kadang-kadang berbentuk muthlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan). Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: muthlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.
HUKKUM SYARI’AT
HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I
A.      Hukum Syariat
Hukum menurut etimologi, hukum berarti man’u, yakni ‘mencegah’ dan hukum juga berarti qadha’ yang memiliki arti ‘putusan’. Sedangkan menurut istilah ahli usul fikih, hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT, yang menuntut mukalaf (orang yang sesudah balig dan berakal sehat) untuk memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal, rakhsah (kemudahan), dan azimah.
Sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunnah (mandub), haram, makruh, dan mubah. Maksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
            Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian ushul fiqih. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqih adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumbernya.
B. Pembagian Hukum Syara
1. Hukum taklifi
            Hukum taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk membuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqih adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
            Bentuk- bentuk hukum taklifi :
  1. Ijab yaitu tuntutan secara pasti dan syar’i untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya, dikenai hukuman.
b.      Nadb yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya, karena orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb,
c.       Haram/tahrim adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk ditinggalkan yang disertai dengan ancaman bagi orang yang menyalahinya.
d.      Karahah adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk tidak dikerjakan oleh mukallaf dengan tuntutan yang tidak pasti, seperti jika bentuk tuntutan itu sendiri menunjukkan ketidak pastian. Seperti nash yang menyatakan, “Allah memakruhkan hal ini bagi kalian,” atau sesuatu itu dilarang dan larangan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa larangan itu bermakna makruh, bukan haram.
e.       Ibahah yaitu khithab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a)        Fardu (wajib) yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
·      Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf. Contoh : salat lima waktu.
·      Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b)        Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
·      Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu. Contoh: salat sunnah rawatib.
·      Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang dari golongan masyarakat. Contoh: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c)         Haram yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala.  Contoh: berzina, mencuri, membunuh.
d)        Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Contoh: meninggalkan salat Dhuha.
e)         Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Contoh: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
2. Hukum Wad’i
            Hukum Wad’I adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain. Kedudukan hukum wad’i sama pentingnya hukum taklifi, karena hukum taklifi sendiri baru akan mempunyai pengaruh, menurut syara’.
            Pembagian hukum wad’I :
a.         Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’I dijadikan sebagi tanda atas suatu akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.
  1. Syarat secara etimologi syarat berarti alamah (pertanda). Secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaannya hukumpun tidak ada.
  2. Mani’ secara etimologi, mani’ berarti al-kaff’an al-syai’(berhenti dari sesuatu), yang dalam bahasa Indonesia berarti “halangan”. Secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.
  3. Sah, sah berasal dari kata al-sihhat  (tidak sakit). Secara istilah, sah dapat didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang rukun dan syaratnya terpenuhi, baik perbuatan yang termasuk wilayah ibadah maupun mu’amalah.
  4. Fasad adalah perbuatan hukum yang rukun dan syarat sahnya terpenuhi, tetapi syarat penyempurnanya diabaikan.
  5. Batal, secara bahasa, sah berasal dari kata al-sihhat  (tidak sakit). Secara istilah, sah dapat didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang rukun dan syaratnya terpenuhi, baik perbuatan yang ternasuk wilayah ibadah maupun mu’amalah.
MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH
A.      Pengertian Mahkum Fih (Objek Hukum)
Menurut ulama Ushul fiqih mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan; dan yang bersipat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Al-Bardisi: II: 148). Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum.
B.       Syarat –syarat mahkum fih
a)         Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan..
b)        Mukallaf harus mengetahui sumber taklif.
c)         Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:
®      tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
®      tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
®      tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
®      tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.
1)      Al masyaqqoh (Halangan)
Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:
®       Masyaqqoh mu’tadah yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.
®       Masyaqqoh goiru mu’tadah yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan.
2)      Macam Macam Mahkum Fih
Ulama Ushul Fiqih membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu:
a)         Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’:
®      Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
®      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishah.
®      Perbuataan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
®      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
b)        Ditinjau dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu,  mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
®      Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
®      Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
®      Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
®      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas.
C.       Mahkum ‘Alaih
Menurutulama ushul fiqih yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT. yang di sebut mukallaf. Dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah mukallaf sering di sebut subjek hukum.
D.      Dasar  Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allah dan Rosulnya).
a)        Syarat syarat taklif ada 2 yaitu:
®       Orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.
®       Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah, maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.
b)      Pengertian Ahliyyah, secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan. Sedangkan secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. Pembagian ahliyyah:
®    Ahliyyah ada’ yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
®    Ahliyyah Al-wajib yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh kewajiban.
c)      Halangan ahliyyah
Seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
®       Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh manusia.
®       Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia.

MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A.      Pengertian Mutlaq
Mutlaq secara bahasa artinya tidak terikat, kebalikan muqayyad. Secara istilah para ulama ushul memberikan berbagai pengertian, namun pada intinya mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
B.       Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah para ulama ushul fiqih muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
C.       Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
1.         Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan dengan nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
2.         Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
3.         Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
4.         Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
D.      Hukum Lafal Mutlaq Dan Muqayyad
1.      Sebab dan hukum sama, maka Muqayyad menjadi penjelasan Mutlaq.
2.      Sebab dan hukum berbeda, maka Muqayyad tidak menjadi penjelasan Mutlaq
3.      Berbeda hukum tapi sebabnya sama, maka Muqayyad dan Mutlaq berdiri sendiri
E.       Hal-Hal Yang Dipermasalahkan Dalam Mutlaq Dan Muqayyad
1.         Ke-muthlaq-an dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum.
2.         Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda.
MANTUQ DAN MAFHUM
A.      Pengertian Mantuq
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang di ucapkan (tersurat). Menurut bahasa, manthuq artinya ucapan atau yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah, manthuq adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang dibicarakan oleh syari’. Dapat dikatakan bahwa manthuq adalah lafadz yang mengandung arti apa adanya. Mantuq dibagi menjadi 2 yaitu :
®  Nash yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.
®  Zahir yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan.
B.       Pengertian Mafhum
Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik mantuq (tersirat). Sedangkan menurut bahasa, artinya pemahaman atau apa yang dipahami. Adapun menurut istilah, mafhum adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang tidak dibicarakan. Jelasnya mafhum adalah lafadz yang mengandung arti di luar makna yang sebenarnya. Mafhum dibagi menjadi 2 yaitu :
·      Mafhum muafakoh yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum   yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muafakoh dibagi menjadi 2 yaitu :
®       Fahwal kitab yakni yang mana kadar mafhumnya lebih tinggi dari mantuqnya. Misalnya memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya.
®       Lahna kitab adalah mafhum yang mana kadar mafhumnya sama dengan qadar mantuq. Misalnya membakar harta anak yatim.
·      Mafhum mukhalafah adalah apabila yang dipahamkan berbeda hukumnya dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat maupun nafi. Jadi yang dipahamkan selalu kebalikan hukum dari bunyi lafadz yang diucapkan. Mafhum mukhalafah ini disebut juga dalil khitab. Macam-macam mafhum mukhalafah :
®       Mafhum shifat yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
®       Mafhum syarat, yaitu berlakunya kebalikan hukum sesuatu yang dihubungkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya.
®       Mafhum gayah, yaitu berlakunya hukum yang disebut sampai batas waktu yang telah ditentukan dan kebalikan hukum berlaku setelah batas waktu berlalu.
®       Mafhum adad, yaitu mafhum dari kata bilangan. Maksudnya, berlakunya kebalikan suatu hukum yang dihubungkan dengan bilangan tertentu bagi jumlah yang kurang atau lebih dari yang dinyatakan oleh kata bilangan dalam nash.
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
a.         Mantuqnya tidak menentang atau bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
b.        Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk imtinan (mengenang budi).
c.         Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk mengagungkan.
Kehujjahan Dalil Mafhum, menurut jumhur ushuliyah, mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
·           Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid  (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk targib, tarhib, dan tanfir.
·           Sikap rasulullah yang tidak menyalahkan umar bin khatab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 an-nisa. Namun, rasulullah menjelaskan bahwa qasar sholat dalam perjalanan dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
MUJMAL DAN MUBAYYAN
A.      Pengertian
1.         Mujmal secara bahasa mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Sedangkan menurut istilah suatu perkara yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya perlu penjelasan dari yang lainnya. Ketidakjelasan tersebut disebut ijmal. Ijmal bisa terjadi dalam kata-kata tunggal atau jumlah kalimat, yaitu susunan kata-kata atau tarkib. Dalam kata-kata tunggal ijmal disebabkan oleh:
a.    Tasrif kata atau pengambilannya, seperti qaala dari qaulun (perkataan) atau qailulah (tidur siang).
b.    Satu lafazh untuk menunjukan beberapa arti (musytarak).
c.    Lafazh yang digunakan untuk menunjukan istilah syara’ yang tertentu, seperti lafazh, shalat, zakat, puasa, dll.
2.      Mubayyan adalah suatu perkataan yang terang dan jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Kejelasan tersebut adakalanya dari:
a)         Manthuq-nya, yaitu:
®      Nashnya
®      Zhahir
®      Lafazh umum
b)        Mafhum-nya, yaitu:
®      Fahwal khitab
®      Lahnul khitab
®      Dalilul khitab
TAKWIL DAN NASHK
A.      Pengertian
1.        Ta’wil menurut bahasa mengandung arti At-Tafsir (penjelasan, uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya). Sedangkan menurut istilah Imam Al-Ghozali berpendapat dalam kitab Al-Mustasyfa ta’wil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafadz zhahir.
1)      Objek Ta’wil
Kajian ta’wil sebagaimana ijtihad dan ra’yu, tidak menyangkut nash-nash yang qath’i, baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat umum atau kaidah-kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum masah furu’, sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya. Adapun kajian ta’wil kebanyakan adalah furu’ sebagaimana pendapat imam Asy-Syaukani. Ta’wil juga tidak membahas tentang lafadz-lafadz yang musytarak.
2)      Dalil-dalil Penunjang Ta’wil
Ta’wil pada dasarnya mencakup arti yang lemah yang memperlukan dalil untuk memperkuat praduga hasil ta’wil tersebut, sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi kuat karena sesuai dengan kemaslahatan umum dan dugaan para mujtahid.
Secara ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam tawil adalah sebagai berikut:
a.         Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.         Ijma’.
c.         Kaidah-kaidah umum syari’at yang diambil dari Al Qur’an dan sunnah.
d.        Kaidah kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syari’at memperhatikan hal-hal yang bersifat juz’i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad dengan ra’yu.
e.         Hakikat kemaslahatan umum.
f.         Adat yang diucapkan dan diamalkan.
g.        Hikmah syari’at atau tujuan syari’at itu sendiri yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, , politik , dan akhlaq.
h.         Qiyas
i.          Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu yang menurut ushuliyyah lebih dikenal dengan istilah takwil qarib.
j.          Kecenderungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar umum dalam pembinaan dalam syari’at yang bersifat ijtihad atau ijtihad dengan ra’yu juga merupakan tujuan.
3)      Landasan Ta’wil
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya.
Tiga ketentuan umum yang dapat dijadikan pegangan agar terhindar dari kesalahan dalam berijtihad juga sebagai cara meng-istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil:
a.         Jika artinya itu sudah tentu mengandung hukum jelas dan dalalahnya qath’i maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.
b.        Jika arti nash yang zahir itu berarti umum atau berarti zanni yang tidak pasti wajib mengamalkan sesuai maknanya karena kejelasan arti dan keberadaannya.
c.         Dibolehkan mengubah syari’at sesuai dengan arti yang zahir kepada arti lain sepanjang berdasar dalil pada dalil, bahkan diwajibkan untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
4)      Syarat-syarat Ta’wil, yaitu:
a.         Lafadz yag dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b.        Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan ta’wil.
c.         Lafadz yang mencakup arti yang dhasilkan melalui takwil menurut bahasa.
d.        Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
e.         Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
2.        Nasakh secara etimologi adalah pembatalan atau penghapusan. Sedangkan secara terminologi Menurut ulama’ Ushul Fiqih adalah penjelasan berakhirnya masa berlakunya suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian. Para ulama’ Ushul Fiqih mengemukakan bahwa Nhakh baru dianggap benar apabila:
a.         Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hukum.
b.         Yang dibatalkan adalah hukum syara’ yang disebut dengan mansukh.
c.         Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
1)      Rukun Nasakh, yaitu:
a.         Adat Nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan).
b.         Nasikh yaitu dalil yang kemudian menghapus dalil yang sudah ada.
c.         Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan.
d.        Mansukh ‘Anbu, yaitu orang yang dibebani hukum.
2)      Hikmah Nasakh yaitu untuk memelihara kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu persoalan nasakh hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup.
3)      Syarat-syarat Nasakh
a.         Syarat-syarat yang disepakati:
®      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
®      Pembatalan itu datangnya dari khitbah (tuntutan) syara’.
®      Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan syara’ itu sendiri
®      Tuntuntan syara’ yang menaskhakan itu datangnya kemudian dari tuntutan syara’ yang dinasakhkan.
b.      Syarat yang diperselisihkan
®      Hukum itu tidak dinasakhkan, kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai kesempatan untuk melaksanakannya (ulama Mu’tazilah dan Hanafiah).
®      Keluarga Mu’tazilah dan Maturidiyah. Hukum yang dinasakhkan itu sesuatu yang baik yang pembatalannya dapat diterima akal.
®      Sebagian ulama ushul fiqh mensyaratkan bahwa terhadap hukum yang dibatalkan itu harus ada penggantinya.
®      Sebagian ulama ushul fiqih dari kalangan Hanafiyah. Apabila yang dinaskhkan itu adalah ayat Al Qur’an atau sunnah yang mutawatir, maka yang menasakhkan juga harus yang sederajat atau sama kualitasnya
®      Imam Syafi’i Al Qur’an tidak boleh dinasakhkan kecuali dengan Al-Qur’an dan sunnah tidak boleh dinasakhkan dengan sunnah.
®      Jumhur ulama yang membatalkan dan yang dibatalkan itu bukan qiyas, artinya qiyas tidak bisa dinasakhkan Al Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas lainnya.
®      Jumhur juga mensyaratkan baik yang menasakhkan maupun yang dinasakhkan itu bukan ijma’, karena apabila yang dinasakhkan ijma’ itu adalah nash, maka hal itu tidak mungkin karena ijma’ baru dianggap sah apabila tidak bertentangan dengan nash.
4)      Macam-macam Nasakh, yaitu:
a.         Nasakh yang tidak ada gantinya.
b.         Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat.
c.         Nasakh bacaan dari satu ayat, namun hukumnya tetap berlaku.
d.        Nasakh hukum dan ayat sekaligus.
e.         Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama.
5)      Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh, yaitu:
a.         Penjelasan langsung dari Rasulullah SAW.
b.         Dalam suatu nasakh, terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu.
c.         Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis, yang menyatakan satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian.
MURADHIF DAN MUSYTARAK
A.      Pengertian
1.    Muradhif ialah lafazhnya banyak, sedangkan artinya sama (sinonim), seperti lafazh asad dan allaits (artinya singa), hinthah dan qamhmum (artinya gandum).
2.    Musytarak ialah satu lafazh mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti tersebut berbeda-beda, seperti lafazh jaun yang artinya putih atau hitam. Apabila arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lainnya majazi, tidak dikatakan musytarak.
a)         Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak:
®      Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna.
®      Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama (isytirak ma’nawi/persekutuan batin).
®      Mula-mula satu arti digunakan untuk satu arti, kemudian berpindah pada arti lain dengan jalan majaz, karena adanya ‘alaqah (hubungannya).
b)        Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
®      Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
®      Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut.
®      Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
AMR DAN NAHI
A.      Amr (Perintah)
1.        Pengertian
Amr menurut jumhur ulama Ushul, definisi amr adalah lafazh yang menunjukan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi diatas tidak hanya ditunjukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi ditunjukan pula pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah terkadang menggunakan kalimat majazi(samar).
2.        Bentuk-Bentuk Amr Dan Hakikatnya
Amr itu digunakan dalam berbagai macam arti. Menurut Al-Amidi mnyebutkan sebanyak 15 makna, sedangkan Al-mahalli menyebutkan sebanyak 26 makna.
Menurut jumhur ulama, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah.
Madzhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama mutakallimin menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb.
Amr itu muasytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Qadi Abu Bakar, Al-Ghazali, dll., menyatakan bahwa Amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukan maksudnya.
3.        Keadaan Amr Bila Tidak Disertai Qarinah
Hazm berpendapat bahwa amr dalam Al- quran, sungguhpun disertai qarinah yang menunjukan wajib, kecuali ada nash lain atau ijma yang memalingkan pengertian amr dari wakib. Sedangkan jumur ulama bahwa tidak ada qarinah menunjukan wujub. Sebaliknya, adanya suatu qarinah sudah cukup mengubah hakikat arti amr. Dari kedua sikap ulama diatas ada dampak luas pada penetapanhukum.
4.        Perintah Setelah Adanya Kejadian
Para ulama telah sepakat tentang amr terhadap sesuatu dari yang tidak ada sebelumnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, para ulam terbagi pada tiga golongan:
a.     Menunjukan mubah, karena amr yang belum ada sebelumnya secara bahasa juga menunjukan wajib.
b.    Menunjukan wajib, karena suatu kalimat yang menunjukan kata amr itu menunjukan wajib.
c.     Perintah setelah adanya kejadian telah menghilangkan kejadian tersebut.
d.    Amr tidak menuntut dilaksanakan terus menerus.
Amr tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung  atau ditunda-tunda, namun berdasarkan ketentuan-ketentuan:
a.    Pelaksanaan segera atau menunda-nunda adalah tambahan dari shigat amr yang mutlaq menurut bahasa.
b.    Sesungguhnya yang ditiuntut oleh amr itu pelaksanaannya, bukan dilihat dari pelaksannaannya secara langsung atau ditunda-tunda.
c.    Jika amr diiringi oleh qarinah yang menuntut untuk dilasanakan secara langsung, maka harus dilaksanakan secara langsung berdasarkan ijma’.
d.   Bila amr dibatasi oleh waktu maka habislah perintah tersebut bila havis waktunya, seperti ibadah puasa.
e.    Bila amr itu memerlukan pelaksanaan secara langsung maka harus dilaksanakan secara langsung.
f.     Bersegera dalam melaksanakan amr itu sunah.
B.       Nahyi (Larangan).
1.      Pengertian
Menurut ulama ushul nahyi adalah lafazh yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang harus dikerjakan) dari atas kepada bawahan. Nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
2.      Makna Shighat Nahyi
Hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah. Perbedaan pendapat mengenai hakikat tahrim, karahah, atau keduanya:
a.         Hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah, kecuali dengan qarinah.
b.         Nahyi yang tidak disertai qarinah menunjukan karahah.
c.         Musytarak antara tahrim dan karahah, baik isytirak lafazhi maupun isytarak maknawi.
d.        Hakikat tuntutan nahyi itu tasawuf.
3.      Nahyi Menuntut Untuk Meninggalkan Secara Langsung
Sesungguhnya nahyi itu menunjukan untuk meninggalkan secara langsung dan terus menerus, karena pelaksanaannya terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi. Hal itu merupakan ijma dari ulama, masa sahabat dan tabi’in.
4.      Kaitan Nahyi Dengan Fasad dan Buthlan
Dua hal penting yang berkaitan dengan masalah nahyi, yaitu:
a.         Ihwal nahyi, hal ihwal nahyi dapat dikelompokan pada empat macam:
®      Nahyi itu berada secara mutlaq, yakni tanpa ada qarinah yang menunjukan sesuatu yang dilarang,
®      Perbuatan indrawi: suatu perbuatan yang dapat diketahui secara indrawi, yang wujudnya tidak bergantung pada syara’. Sedangkan tindakan syara’: segala perbuatan syara’ yang bergantung pada syara’.
®      Nahyi itu kembali pada dzatiyah perbuata,.
®      Nahyi melekat pada suatu yang dilarang, bukan pada pokoknya.
®      Nahyi kembali pada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa terpisah dari perbuatan yang lain.
b.         Pengertian sah, batal, dan fasad
Sah dalam ibadah ialah sesuatu perbuatan itu telah gugur karena telah digunakan. Batal dalam ibadah ialah tidak gugurnya suatu perbuatan yang diwajibkan. Adapun arti fasad menurut jumhur sama dengan batal.
TA’ARUDH DAN TARJIH
A.      Ta’arud Al-Adhillah
1.      Pengertian
Kata Ta’arud, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan  al-Adillah ialah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil. Sedangkan secara terminologi iman Asy-Syaukani berpendapat Ta’arud al-Adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu
Persoalan ta’rud al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada pertentangan ntara dua dalil, atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara zhahir pada derajat yang sama.
2.      Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah
a.         Menurut Hanfiyah
Para ulama Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut.
®      Nasakah adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.
®      Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang terkandung ketetapan tersebut.
®      Al-Jam’wa At-Taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya, berdasarkan kaidah, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain.
®      Tasaqut Ad-Dalain adalah menggurkan kedua dalil yang bertentangan dengan mencari yang lebih rendah.
b.         Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah
Cara penyelesaian Ta’arudh al-Adillah, menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:
®      Jamu’wa al-Taufiq cara untuk menyelesaikan dua dalill yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut alasan mereka adalah kaidah menyatakan, “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang salah.
®      Tarjih yakni menguatkan salah satu dalil.
®      Naskh yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil yang pertama dan mana dalil yang dating kemudian.
®      Tatsaqut al-Dalilain yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan  berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah.
B.       Tarjih
1.      Pengertian
Secara bahasa tarjih berarti menguatkan. Sdangkan secara terminologi Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa tarjih adalah Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu ridak berdiri sendiri.
2.      Cara Pen-Tarjih-an
a.         Tarjih bain al-Nushush, terbagi menjadi beberapa bagian’ seperti:
Dari segi sanad:
®    Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
®    Pen-tarjih-an dengan melihat riwayat itu sendiri.
®    Pen-tarjih-an melalui cara menerima hadis dari rasul.
Dari segi matan:
®    Teks yang mengandung larangan diutamakan dari pada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemadaratan lebih utama daripada mengambil manfaat.
®    Teks yang mengandung perintah didahulukan dari pada teks yang mengandung kebolehan.
®    Makna hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan dari pada makna majazi-nya.
®    Dalil husus diutamakan daripada dalil umum.
Dari segi hukum:
®    Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.
®    Dikalangan para ulama telah terjadi perbedaan pendapat tentang teks yang bersifat menetapkan, dengan teks yang memindahkan.
®    Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan dari pada teks yang didalamnya mengandung hukuman berat.

Referensi :       Buku Ilmu Ushul Fiqih karangan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si
                        Buku Ilmu Ushul Fiqih karangan Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA. 

Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati