PENGERTIAN
USHUL FIQIH
1.
Pengertian
Ushul Fiqih
Fiqih secara
etimologi “Pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal”.
Sedangkan secara terminologi fiqih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah,
yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan
diambil dari dalil yang terinci.
Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang
objeknya dalil hukum syara’ secara gelobal dengan seluk beluknya dan metode
pengaliannya..
2.
Perbedaan
Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqih
memandang dalil dari sisi penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan
Fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Walau ada titik kesamaan, yaitu
keduanya merujuk pada dalil.
Dengan demikian, dapat
dikatakan dalil sebagai pohon yang melahirkan buah, sdangkan fikih sebagai buah
yang lahir dari pohon tersebut.
3.
Fungsi
Ushul Fiqih
Ushul
Fiqih bukanlah sebagai tujuan melaikan hanya sebagai sarana, fungsi Ushul Fiqih
:
1)
Memberikan
pengertian dasar tentang kaidah-kaidah metodologi para ulama mujtahid
dalam menggali hukum.
2)
Mengambarkan
persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali
hukum syara secara tepat, sedang bagi orang awam supaya lebih mantap dalam
mengkuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid.
3)
Memberi
bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode-metode yang dikembangkan
oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai permasalahan
baru.
4)
Memelihara agama dari penyimpangan dan
penyalahgunaan dalil.
5)
Menyusun
kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai
persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
6)
Mengetahui
keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka
gunakan.
SEJARAH
PERTUMBUHAN
DAN
PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
1.
Pembukaan
Ushul Fiqih
Salah
satu pendorong diperlukannya pembukaan Ushul Fiqih adalah perkembangan
wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai
persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Para ulama islam sangat
membutuhakn kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan
dalam menggali dan menetpkan hukum.
Jika
dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqih
seblum dibukukan adalah para sahabat dan tabi’in. Yang diperselisihkan adalah
orang pertama yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqih, untuk itu perlu
diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisanya. Ada dua teori yang
digunakan, yakni :
·
Merumuskan
kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisnya
serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kidahnya.
·
Merumuskan
kaidah-kaidah yang dapat menolong mujtahid untuk meng-istinbath,
tanpa terkait oleh pendapat atau pemahaman sejalan maupun yang bertentangan.
Jalaluddin
As-syuti berkata :”disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama
pada ilmu Ushul Fiqih. Adapun Maliki hanya menunjukan sebagian
kaidah-kaidahnya, demikian ulama-ulama lain, seperti Abu Yusuf dan Muhammad
Al-Hasan (Al-Hawaji, II : 404). Dapat disimpulkan bahwa kitab Al-Risalah
merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih.
2.
Tahaf-Tahaf Perkembangan Ushul Fiqih
Secara
garis besar Perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu :
a)
Tahap
awal (abad 3 H)
Di
bawah pemerintahan Abbasyiah Wilayah
islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa pada abad
ini adalah: Al-Ma’mun (w.218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H) Al-Wasiq (w. 232 H),
dan Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan islam, yang dimulai pada masa pemerintahan Khalifa Ar-Rasyid.
Ditandai dengan timbulnya semangat penerjemah dikalangan Ilmuan muslim.
Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan kemudian
diberikan penjelasan (syarah). Ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan
semakin meluas pembahasannya. Hasil pemikiran itu berhasil mengembangkan bidang
fiqih, yang mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqih yaitu Ushul
Fiqih.
Pada
abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang meletakan dasar berdirinya madzhab-madzhab
fiqih, sehingga para pengikut mereka semakin menunjukan perbedaan dalam
mengungkapkan pemikiran Ushul Fiqih dari para imamnya.
Perbedaan-perbedaan
pendapat dan metode masing-masing aliran semakin mendorong semangat pengkajian
ilmiah dikalangan ulama abad 3 H dan semangat ini berlanjut dan semakin
berkembang pada abad 4 H.
b)
Tahap
Perkembangan (Abad 4 H)
Pada
abad ini merupakan permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah dalam bidang politik.
Dinasti Abbasyiah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang dipimpin oleh
seorang sultan. Perkembangan ilmu keislaman pada abad ini jauh lebih maju dari
masa-masa sebelumnya. Karena masing-masing penguasa ingin memajukan,
memakmurkan dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negrinya.
Khusus
dibidang pemikiran fiqih Islam abad ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Hal ini ditandai dengan adanya
kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan untuk melakukan
perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Keterkaitan
pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid, karena karena
tiap-tiap pengikut tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna untuk menyempurnakan
apa yang dirintis pendahulunya. Usaha mereka antara lain :
1)
Memperjelas
‘illat-illat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam mereka;
mereka itu yang disebut ‘ulama takhriz;
2)
Men-tarjih-kan
pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayat
dan dirayah;
3)
Setiap golongan mendukung madzhab-nya
sendiri dan men-tarjih-kan dalam berbagai masalah khilafiyah.
Akan tetapi, tidak
bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup.
Akibat yang ditimbulkan sebagai berikut :
1)
Kegiatan
para ulama terbatas, mereka cendrung men-syarah-kan kitab-kitab
terdahulu atau memahami dan meringkasnya;
2)
Menhimpun
maslah-masalah furu’ yang banyak dalam uraian yang singkat;
3)
Memperbanyak
pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Kitab-kitab yang
paling terkenal diantaranya :
1)
Kitab
Ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadilah Ibnu Al-Husain Ibnu
Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 340 H.).
2)
Kitab
Al-Fushul Fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim
yang dikenal dengan Al-Jashshasa (305-370 H.).
3)
Kitab
Bayan Kasf Al-Ahfaz, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu
Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ciri khas
perkembangan Ushul Fiqih pada abad ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul
Fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang
terjadi pada masa sebelumnya.
c)
Tahap
Penyempurnaan (Abad 5-6 H.)
Kelemahan
politik di Baghdad, yang ditandai lahirnya daulah-daulah kecil, membawa arti
pada perkembangan peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perhatian lebih
dar para pengusanya terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Salah
satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih
yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya
; antaralain Al-Baqilani, Al-Qadhi Abd. Al-jabar, Abd. Al-Wahab Al-Bagdhdadi,
dan lain-lain. Mereka lah pelopor keilmuan islam pada zaman itu.
Kitab-kitab
Ushul Fiqih yang ditulis pada zaman ini, dismping mencerminkan adanya
adanya kitab ushul fiqih pada tiap madzhab, juga menunjukan
adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran Hanafiyah dikenal sebagai
aliran fuqaha dan aliran mutakalimin. Kitab-kitab Ushul Fiqih yang
paling penting antara lain :
a)
Kiitab
Al-Mughni fi Al-Abwab Al-Adl wa At-Tahwid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd.
Al-Jabbar (w. 415 H./1024 H.).
b)
Kitab
Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Husain Al-Bashri (w.
436 H./1044 M.).
c)
Kitab
Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la
Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalaf Al-Farra (w. 458/1065 M.).
d)
Kitab
Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Ma’ali Abd. Al-Malik
Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juaini Imam Al-Haramain (w. 478 H./1094 M.).
e)
Kitab
Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505
H./1111 M.).
a.
Peran
Ushul Fiqih Dalam Pengembangan Fiqih Islam
Target
yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqih ialah tercapainya kemampuan
seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan
kemampuanya untuk menegtahui metode istinbath hukum dari dalil dalilnya
dengan jalan yang benar.
Target
study fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath
hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Bagi non-mujtahid
yang mempelajari fiqih islam target nya ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad
imam madzhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjih
dan men-takhrij pendapat imam madzhab tersebut.
Ibnu
Khaldun dalam kitabnya Muqaddamah berkata, “Sesungguhnya ilmu ushul itu
merupakan ilmu syariah yang termulia, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidah
nya.” Para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dharuri yang
penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih.
b.
Aliran-Aliran
Ushul Fiqih
Aliran
pertama disebut aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakallimin (ahli kalam). Aliran
ini mengemban Ushul Fiqih secara teoritis murni, begitu pula dalam
menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, tanpa dipengaruhi
masalah furu’ dam madzhab, sehingga adakalanya sesuai dengan
masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Pada kenyataannya pada
kalangan syafi’iyah sendiri pernah terjadi pertentangan.
Kitab
setandar aliran ini antara lain : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’I) , Al-Mu’tamad
(Abu Al-Husain Muhammad Ibnu A’li Al-Bashri), Al-Burhan fi Ushul Fiqih (Imam
Al-Haramain Al-Juwaini), Al-mankhul min ta’liqat Al-Ushul, Shifa Al-Ghalil
fi bayan asy-syabah wa Al-mukhil wa Masalik At-ta’lil, Al-Mushfa fi ilmi
Al-Ushul (ketiganya karya Imam Abu Hamid Al-Gazali)
Aliran
kedua dikenal dengan aliran Fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab
Hanafi. Dinamakan madzhab fuqaha karena dalam menyusun teorinya banyak
dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Aliran ini
berusaha menerapkan kaidah-kaidah yang mereka sususn pada furu’. Jika
sulit diterapkan mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa
diterapkan.
Kitab
standar aliran ini antara lain : Kitab Al-Ushul (Imam Abu Hasan
Al-Karkhi), Kitab Al-Ushul (Abu Bakar Al-Jashshash), Ushul Al-Sarakhsi
(Imam Al-Sarakhsi), Ta’sis An-Nazhar (Imam Abu Zaid Al-Dabusi), dan Al-Kasyaf
Al-Asrar (imam Al-Bazdawi).
Kitab-kitab
Ushul yang menggabungkan kedua teori diatas antara lain:
1)
At-Tahrir, disusun oleh Kamal Ad-Din Ibnu Al-Human Alhanafi (w.861 H.)
2)
Tangqih
Al-Ushul, disusun oleh
Shadr Asy-Syari’ah (w.747 H.)
3)
Jam’u
Al-jawami, disususn
olehTaj Ad-Din Abd Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’I (w.771 H.)
4)
Musallam
Ats-Tsubut, disusun oleh
Muhibullah Abd Al-Syakur (w. 1119 H.)
Pada abad 8 muncul
Imam Asy-Syatibhi yang menyusun kitab Al-Muafaqat fi Al-Ushul Asy-Syari’ah.
Pembahasan yang dikemukakannya berhasil memberikan corak baru, sehingga para
ulama ushul menganggap sebagai kitab Ushul Fiqih kontemporer yang
komperhensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.
OBJEK
KAJIAN
USHUL
FIQIH DAN FIQIH
1.
Objek
Kajian Ushul Fiqih
Objek bahasan Ushul Fiqh adalah cara-cara, metode-metode, kaidah-kaidah
untuk menggali hukum atau untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syari’at
(firman Allah dan sabda Rasull).
Menurut pendapat Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505 H), ahli Ushul
Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, membagi objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4
(empat) bagian yaitu:
1)
Pembahasan tentang hukum
syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim,
mahkumfih, dan mahkum ‘laih;
2)
pembahasan tentang sumber-sumber
dan dalil-dalil hukum;
3)
pembahasan tentang cara
mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan
4)
pembahasan ijtihad
2.
Objek Kajian Fikih
Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat yang mendasar dari dalil-dalil syara’dan
sifat-sifat itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara
global (umum). Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli
Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada
dalil-dalil juz’I (terinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan
hukum fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukalaf. Jadi, yang
menjadi bahasan Fikih adalah menganalisis satu persatu dalil dalam Al-Qur’an
dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan
mukalaf, manggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Empat persoalan objek
pembahasan Fiqih:
1)
Hukum Syara’;
2)
Hakim dan dalil-dalilnya;
3)
Perbuatan mukalaf, dan
4)
Mukalaf.
TUJUAN MENGKAJI
FIQIH DAN USHUL FIQIH
1.
Tujuan
Mempelajari Fiqih:
Tujuan mempelajari fiqih ialah untuk menerapkan hukum syara’
pada setiap perkataan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan- ketentuan
yang dipergunakan untuk memutuskan
segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa, dan bagi setiap mukallaf akan
mengetahui hukum syara’ pada setiap perkataan dan perbuatan yang mereka
lakukan.
Selain itu, tujuan mempelajari fiqih lainnya yaitu untuk
menerapkan hukum- hukum syariat islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia,
seperti rujukan seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang Mufti dalam
fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syariat dalam
ucapan dan perbuatannya.
2.
Tujuan
mepelajari Ushul Fiqih:
a.
Memberikan
pengertaan dasar tentang kaidah-kaidah dan metodelogi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.
b.
Memberikan
gambaran mengenai persyaratan yang harus dikuasai dan dimiliki seorang mujtahid.
c.
Memberikan
bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai macam metode yang dikembangkan
para mujtahid sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.
d.
Memelihara
agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan hadis.
e.
Menyusun
kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat digunakan untuk menetapkan berbagai
persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
f.
Mengetahui
keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka
gunakan.
SUMBER
HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI DAN TIDAK DISEPAKATI
A.
Sumber-Sumber
Hukum Yang Disepakati
1.
Al-quran
Alquran adalah
kumpulan firman allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan dinukilkan
dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa arab.
a.
Pokok-pokok
isi al-quran ada 5, yaitu :
1)
Tauhid
( mengesakan tuhan )
2)
Ibadah
3)
Janji
dan ancaman
4)
Jalan-jalan
mencapai kebahagian dunia maupun akhirat
5)
Riwayat
dan cerita
b.
Hukum-hukum
yang ada dalam al-quran
Hukum-hukum yang ada
dalam al-quran, dapat dibagi dua yaitu :
1)
Hukum-hukum
yang mengatur perhubungan manusia dengan tuhannya ( allah ), yang disebut
ibadah.
Ibadah ini
dibagi menjadi tiga, yaitu :
ü Yang bersifat ibadah semata-mata, yaitu shalat dan puasa.
ü Yang bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat, yaitu
zakat.
ü Yang bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat,
yaitu haji.
2)
Hukum-hukum
yang mengatur pergaulan manusia ( perhubungan sesama manusia ), yaitu yang
disebut mu’amalat ( dalam arti yang luas ).
Hukum macam
kedua ini dibagi empat, yaitu :
ü Yang berhubungan dengan jihad
ü Yang berhubungan dengan rumah tangga, seperti kawin, cerai dan
lain-lain.
ü Yang berhubungan dengan pergaulan hidup manusia, seperti jual-beli,
sewa-menyewa dan lain-lain.
ü Yang berhubungan dengan soal hukuman terhadap kejahatan, seperti
qisas, hudud dan lain-lain.
c.
Dasar-dasar
al-quran dalam membuat hukum, dalam mengadakan perintah dan larangan, quran
selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu :
1)
Tidak
memberatkan atau menyusahkan.
2)
Tidak
memperbanyak tuntutan ( beban ).
3)
Berangsur-angsur
dalam mentasyri’kan hukum.
2.
Sunah
Sunah dari segi bahasa
adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan,
tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.arti tersebut bisa
ditemukan dalam sabda rasulullah SAW yang berbunyi :
من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل بها من بعده
“ barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik
di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya
yang mengamalkannya “.
Secara terminology,
pengertian sunah:
1)
Menurut
Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut ahli fiqh hampir sama dengan pengertian
yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih. Akan tetapi, istilah sunah dalam
fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu
perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa
apabila ditinggalkan.
2)
Menurut
Ilmu ushul fiqh, menurut ulama ahli ushul fiqih sunah adalah segala yang
diriwayatkan dari nabi SAW berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum.
3)
Menurut
Ilmu hadits, menurut para ahli hadits sunah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun
ketetapannya.
a.
Pembagian
sunah
ü Sunah qauliyah, yaitu perkataan-perkataan nabi.
ü Sunah fi’liyah, yaitu perbuatan-perbuatan nabi.
ü Sunah taqririyah, yaitu ketetapan nabi.
ü Sunah hammiyah, yaitu hal yang hendak diperbuat nabi, tetapi belum
sampai diperbuatnya.
b.
Kedudukan
sunah
ü Sunah sebagai penguat al-quran.
ü Sunah sebagai penjelas al-quran.
ü Sunah sebagai pembuat syari’at.
B.
Sumber-Sumber
Hukum Yang Tidak Disepakati
1.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa
adalah bermaksud atau berniat, dan kesepakatan terhadap sesuatu. Sedangkan
Ijma’ menurut istilah adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada sesuatu
masa atas sesuatu hukum syara’.
a.
Macam-macam
ijma’
1)
Ijma’
umat dibagi menjadi dua, yaitu :
ü Ijma’ qauli adalah suatu ijma’ dimana para ahli ijtihad
mengeluarkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangan
persetujuan atas pendapat mujtahid lain dimasanya. Ijma’ ini juga disebut ijma’
bayani atau ijma’ qat’I.
ü Ijma’ sukuti adalah suatu ijma’ dimana para ahli ijtihad diam,
tidak mengatakan pendapatnya. Dan diam di sini dianggap menyetujui.
2)
Ijma’
sahabat, yaitu ijma yang dikeluarkan oleh para sahabat.
3)
Ijma’
khalifah yang empat
4)
Ijma’
Abu Bakar dan Umar
5)
Ijma’
ulama Madinah
6)
Ijma’
ulama Kufah dan Basrah
7)
Ijma’
itrah (ahl al-bait atau kaum Syi’ah
2.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa
berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan ukuran. Sedangkan qiyas
menurut istilah adalah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada
ketentuannya berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
a.
Rukun
qiyas
1)
Ashl (pokok), yaitu yang menjadi ukuran (maqis-alaih) atau
tempat menyerupakan (al-musyabbah bih).
2)
Far’un
(cabang), yaitu yang diukur (maqis)
atau yang diserupakan (al-musyabbah).
3)
Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya.
4)
Hukum,
yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.
b.
Pembagian
qiyas
1)
Qiyas
illat, adalah
mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan illatnya. Qiyas
illat dibagi menjadi 2, yaitu :
ü Qiyas jali,
yaitu kalau illat tersebut berdasarkan dalil yang pasti yang tidak ada
kemungkinan lain selain untuk menunjukan illat. Dan Qiyas jali dibagi
3, yaitu :
·
Dijelaskan
dengan kata-kata yang menunjukan illat.
·
Qiyas
awlawi (fahwal khitab).
·
Qiyas
musawi (lahnul khitab).
ü Qiyas khafi, yaitu kalau illat tersebut berdasarkan dalil
yang mungkin bisa dijadikan illat, mungkin pula bukan sebagai illat. Dan
qiyas khafi dibagi 2, yaitu:
·
Illat
diketahui dari kata-kata yang zahir.
·
Illat
diketahui dengan penyelidikan.
2)
Qiyas
dalalah, adalah suatu
qiyas dimana illat tidak disebutkan. Yang disebutkan hanyalah
hal-hal yang menunjukan adanya illat tersebut (dalil illat).
3)
Qiyas syibih, adalah qiyas dimana cabang bisa diqiyaskan kepada
dua pokok, maka cabang tersebut diqiyaskan dengan pokok yang banyak
persamaannya.
3.
Istishhab
a.
Pengertian
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan
perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sampai mendapatkan dalil yang menunjukan pada perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaannya sampai menunjukan dalil yang menunjukan perubahannya.
b.
Kehujahan
Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali
bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang
dihadapinya. Istishab juga telah dijadikan dasar bagi perinsip-prinsip syariat.
Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalilah yang tetap
menetapkan hukum tersebut.
c.
Pendapat
Ulama tentang Istishab
Ulama hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan hujjah untuk
mempertahankan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
4.
Istihsan
a.
Pengertian
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh,
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
b.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu
Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk
yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang
kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga
yang disebut dengan segi Isthisan”.
5.
Mashlahah
mursalah
a.
Pengertian
Menurut bahasa al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan
yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Sedangkam
menurut istilah Asy-Syatibi menurut al-Maslahah
al-Mursalah adalah setiap perinsip
syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan
tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.
b.
Objek
al-Maslahah al-Mursalah
al-Maslahah al-Mursalah itu difokuskan pada lapangan yang tidak
terdapat pada nash, baik dalam al-Quran maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada
penguatnya melalui suatu i’tibar.
c.
Syarat-syarat
mashlahah mursalah
1)
Hanya
berlaku dalam muamalat.
2)
Tidak
berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal.
3)
Mashlahah
adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
6.
Urf
a.
Pengertian
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan,
atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya.
b.
Macam-macam
‘urf
ü ‘urf sahih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia
dan tidak bertentangan dengan dalil syara’
ü ‘urf fasid adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh
manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau membatalkan yang wajib
menghalalkan yang haram.
c.
Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih
saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang
terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan
qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan
mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu
jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nash.
7.
Dzari’ah
a.
Pengertian
Dzari’ah menurut bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama
mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan
yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang
oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya ibnu qayyim aj-jauziyah yang
menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang,
tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah
itu dibagi menjadi dua, yaitu sad adz-dzari’ah ( yang dilarang ), dan fath
adz-dzari’ah ( yang dianjurkan ).
b.
Sadd
Adz-Dzari’ah
Sadd Adz-Dzari’ah adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula
mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
a.
Macam-macam
dzari’ah
1)
Dzari’ah
dari segi kualitas kemafsadatan
2)
Dzari’ah
dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
8.
Madzhab
shahaby
a.
Pengertian
Madzhab shahaby (pendapat sahabat) tidak menjadi hujjah atas
sahabat lainnya. Hal ini sudah disepakati, yang masih diperselisihkan ialah apakah
pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’in dan orang-orang yang sesudah
mereka. Dalam hal itu ada tiga pendapat.
® Pendapat pertama :
Pendapat
sahabat tidak menjadi hujjah sama sekali. Demikianlah pendapat jumhur.
Perkataan seseorang mujtahid bukanlah suatu dalil yang dapat berdiri sendiri.
® Pendapat kedua :
Pendapat
sahabat menjadi hujjah dan didahulukan daripada qiyas. Demikianlah pendapat
malik, golongan hanfiyah dan syafi’iyah. Bahkan ahmad bin hambali mendahulukan
pendapat sahabat daripada hadits mursal dan hadits dha’if.
® Pendapat ketiga :
® Pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau
tidak berlawanan dengan qiyas. Jadi pendapat sahabat tersebut didahulukan
daripada qiyas, yang tidak disertai pendapat sahabat.
Jadi, intinya
pendapat sahabat tidak menjadi hujjah.
AMM
DAN KHASH
A.
Pengertian ‘Amm
Menurut etimologi adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ artinya : mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak
terbatas). Sedangkan menurut terminologi lafazh ‘amm adalah lafazh yang
menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam
jumlah tertentu.
B.
Dilalah lafazh ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai
qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i
dilalah. Mereka pun sepakat bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai
dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh
‘amm yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak
kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum mencakup satuan-satuannya.
Menurut Jumhur Ulama, (Maliki, Syafi’iyyah, dan Hanabilah), dilalah
‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk
bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan
kemungkinan ini pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap
ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i.
C.
Pengertian Khash
Menurut Al-Bazdawi, khash adalah: setiap
lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna
lain yang (musytarak).
D.
Hukum Lafazh Khash
Apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq,
tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum
secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh
itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum
wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang
memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu
dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa
hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah
(indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
E.
Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah
Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i.
namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu,
apakah lafazh khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu
sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan
lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i
dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang
lain.
F.
Macam-Macam Lafadz Khas
Lafazh Khash itu bentuknya banyak,
kadang-kadang berbentuk muthlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid
apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid,
kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy
(larangan). Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: muthlaq,
muqayyad, amr, dan nahyi.
HUKKUM
SYARI’AT
HUKUM
TAKLIFI DAN WADH’I
A.
Hukum
Syariat
Hukum menurut
etimologi, hukum berarti man’u, yakni ‘mencegah’ dan hukum juga berarti qadha’
yang memiliki arti ‘putusan’. Sedangkan menurut istilah ahli usul fikih, hukum
adalah khitab atau perintah Allah SWT, yang menuntut mukalaf (orang yang
sesudah balig dan berakal sehat) untuk memilih antara mengerjakan dan tidak
mengerjakan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi
adanya yang lain, sah, batal, rakhsah (kemudahan), dan azimah.
Sedangkan perbuatan
yang dituntut itu disebut wajib, sunnah (mandub), haram, makruh, dan
mubah. Maksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian
sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau
pedoman syariat Islam.
Pembahasan
tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian ushul
fiqih. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqih adalah bagaimana menyimpulkan
hukum syara’ dari sumber-sumbernya.
B. Pembagian Hukum
Syara
1. Hukum taklifi
Hukum
taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk
membuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan menurut
para ahli ushul fiqih adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya yang
berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan,
atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
Bentuk-
bentuk hukum taklifi :
- Ijab yaitu tuntutan secara pasti dan syar’i untuk
dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang
meninggalkannya, dikenai hukuman.
b. Nadb
yaitu tuntutan untuk melaksanakan
suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Seseorang tidak
dilarang untuk meninggalkannya, karena orang yang meninggalkannya tidak dikenai
hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat
dari tuntutan itu disebut nadb,
c. Haram/tahrim
adalah suatu perbuatan yang
diperintahkan untuk ditinggalkan yang disertai dengan ancaman bagi orang yang
menyalahinya.
d. Karahah
adalah sesuatu yang dituntut syar’i
untuk tidak dikerjakan oleh mukallaf dengan tuntutan yang tidak pasti, seperti
jika bentuk tuntutan itu sendiri menunjukkan ketidak pastian. Seperti nash yang
menyatakan, “Allah memakruhkan hal ini bagi kalian,” atau sesuatu itu dilarang
dan larangan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa larangan itu
bermakna makruh, bukan haram.
e. Ibahah
yaitu khithab Allah yang mengandung
pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari khitab Allah ini disebut
juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
Sedangkan menurut ulama fikih
perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan
berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat dibagi menjadi menjadi lima
macam, yaitu:
a)
Fardu (wajib) yaitu perbuatan yang apabila
dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat
hukuman (berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya
dibagi menjadi dua, yaitu:
· Fardu ‘ain:
perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf. Contoh : salat lima
waktu.
· Fardu kifayyah:
perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka
anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila
perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun
dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap
berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan
jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b)
Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan
yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila
ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
· Sunnah ‘ain:
perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap
individu. Contoh: salat sunnah rawatib.
· Sunnah kifayyah:
perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang
dari golongan masyarakat. Contoh: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c)
Haram yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan
pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan
maka pelakunya akan mendapat pahala. Contoh:
berzina, mencuri, membunuh.
d)
Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan
pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya
akan mendapat pahala. Contoh: meninggalkan salat Dhuha.
e)
Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan
dan boleh pula ditinggalkan. Contoh: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan
pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
2. Hukum Wad’i
Hukum
Wad’I adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain. Kedudukan hukum wad’i
sama pentingnya hukum taklifi, karena hukum taklifi sendiri
baru akan mempunyai pengaruh, menurut syara’.
Pembagian
hukum wad’I :
a.
Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’I
dijadikan sebagi tanda atas suatu akibat dan hubungan adanya akibat dengan
sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.
- Syarat secara etimologi
syarat berarti alamah (pertanda). Secara terminology, para ulama
ushul fiqih merumuskannya dengan sesuatu
yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada
diluar hukum itu sendiri yang ketiadaannya hukumpun tidak ada.
- Mani’ secara etimologi, mani’
berarti al-kaff’an al-syai’(berhenti dari sesuatu), yang
dalam bahasa Indonesia berarti “halangan”. Secara terminology, para ulama
ushul fiqih merumuskannya dengan sifat zhahir yang dapat diukur
yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.
- Sah, sah berasal dari kata al-sihhat (tidak sakit). Secara istilah, sah dapat
didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang rukun dan syaratnya terpenuhi,
baik perbuatan yang termasuk wilayah ibadah maupun mu’amalah.
- Fasad adalah perbuatan
hukum yang rukun dan syarat sahnya terpenuhi, tetapi syarat penyempurnanya
diabaikan.
- Batal, secara bahasa, sah
berasal dari kata al-sihhat (tidak
sakit). Secara istilah, sah dapat didefinisikan sebagai perbuatan hukum
yang rukun dan syaratnya terpenuhi, baik perbuatan yang ternasuk wilayah
ibadah maupun mu’amalah.
MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH
A.
Pengertian Mahkum Fih (Objek Hukum)
Menurut ulama Ushul fiqih mahkum fih adalah
obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah
dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan;
tuntutan memilih suatu pekerjaan; dan yang bersipat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhsah, sah serta batal (Al-Bardisi: II: 148). Para ulama pun sepakat
bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf
dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum.
B.
Syarat –syarat mahkum fih
a)
Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan
di lakukan..
b)
Mukallaf harus mengetahui sumber taklif.
c)
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau
ditinggalkan, berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:
® tidak syah
suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
® tidak syah
hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama
orang lain.
® tidak sah suatu
tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia.
® tercapaianya
syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah
sholat.
1)
Al masyaqqoh (Halangan)
Masyaqqoh itu ada dua
macam yaitu:
®
Masyaqqoh mu’tadah yaitu
kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya
kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan
taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.
®
Masyaqqoh goiru mu’tadah yaitu suatu
kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan
merusak jiwanya bila di paksakan.
2)
Macam Macam Mahkum Fih
Ulama Ushul
Fiqih membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu:
a)
Ditinjau
dari keberadaannya secara material dan syara’:
®
Perbuatan
yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’.
Seperti makan dan minum.
®
Perbuatan
yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’,
yaitu hudud dan qishah.
®
Perbuataan
yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi
rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
®
Perbuatan
yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’
yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
b)
Ditinjau
dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk,
yaitu:
®
Semata-mata
hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan
umum tanpa kecuali.
®
Hak
hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta
seseorang yang dirusak.
®
Kompromi
antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan,
seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
®
Kompromi
antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan,
seperti dalam masalah qishas.
C.
Mahkum ‘Alaih
Menurutulama
ushul fiqih yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang
yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT. yang di sebut mukallaf. Dalam arti
bahasa yaitu yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah mukallaf sering di
sebut subjek hukum.
D. Dasar Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang
sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain
seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara
baik taklif. Maka orang yang belum berakal di anggap tidak bisa
memahapi taklif dari syari’(Allah dan Rosulnya).
a)
Syarat syarat taklif ada 2 yaitu:
® Orang itu telah
mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al
qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.
® Seseorang harus
mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah, maka
seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak
dikenakan tuntutan syara’.
b)
Pengertian Ahliyyah, secara harfiyyah ahliyyah
adalah kecakapan menangani sesuatu urusan. Sedangkan secara terminologi adalah
suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. Pembagian ahliyyah:
® Ahliyyah ada’ yaitu kecakapan
bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung
jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
® Ahliyyah
Al-wajib yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima
hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh
kewajiban.
c)
Halangan ahliyyah
Seseorang dalam
bertindak hukum di lihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang
berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Seseorang
kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
® Awaridh
samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan
di sebabkan oleh manusia.
® Al awaridh al
muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia.
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A.
Pengertian Mutlaq
Mutlaq secara bahasa artinya tidak terikat, kebalikan muqayyad.
Secara istilah para ulama ushul memberikan berbagai pengertian, namun pada
intinya mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu
tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
B.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa
artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Sedangkan
menurut istilah para ulama ushul fiqih muqayyad adalah suatu lafazh
yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang
mempersempit keluasan artinya.
C.
Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
1.
Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada
suatu nash, sedangkan dengan nash lain digunakan dengan muqayyad;
keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
2.
Lafazh mutlaq dan muqayyad
berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
3.
Lafazh mutlaq dan muqayyad
yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab
hukumnya.
4.
Mutlaq dan muqayyad
berbeda dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
D.
Hukum Lafal Mutlaq Dan Muqayyad
1.
Sebab dan hukum sama, maka Muqayyad menjadi
penjelasan Mutlaq.
2.
Sebab dan hukum berbeda, maka Muqayyad tidak
menjadi penjelasan Mutlaq
3.
Berbeda hukum tapi sebabnya sama, maka Muqayyad
dan Mutlaq berdiri sendiri
E.
Hal-Hal Yang Dipermasalahkan Dalam Mutlaq Dan
Muqayyad
1.
Ke-muthlaq-an dan kemuqayyadan terdapat
pada sebab hukum.
2.
Mutlaq dan muqayyad
terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda.
MANTUQ DAN MAFHUM
A.
Pengertian
Mantuq
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang di ucapkan (tersurat).
Menurut bahasa, manthuq artinya ucapan
atau yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah, manthuq adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang
dibicarakan oleh syari’. Dapat dikatakan bahwa manthuq adalah lafadz yang mengandung arti apa adanya. Mantuq
dibagi menjadi 2 yaitu :
® Nash yaitu suatu
perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.
® Zahir yatiu suatu
perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan
menghendakinya kepada penta’wilan.
B.
Pengertian
Mafhum
Mafhum
adalah lafal yang hukumnya
terkandung dalam arti dibalik mantuq (tersirat). Sedangkan menurut
bahasa, artinya pemahaman atau apa yang dipahami. Adapun menurut istilah,
mafhum adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang tidak
dibicarakan. Jelasnya mafhum adalah
lafadz yang mengandung arti di luar makna yang sebenarnya. Mafhum dibagi
menjadi 2 yaitu :
· Mafhum muafakoh
yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum
muafakoh dibagi menjadi 2 yaitu :
®
Fahwal kitab yakni yang mana kadar mafhumnya lebih tinggi dari mantuqnya.
Misalnya memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya.
®
Lahna
kitab adalah mafhum yang mana
kadar mafhumnya sama dengan qadar mantuq. Misalnya membakar harta anak
yatim.
·
Mafhum
mukhalafah adalah apabila
yang dipahamkan berbeda hukumnya dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat
maupun nafi. Jadi yang dipahamkan selalu kebalikan hukum dari bunyi
lafadz yang diucapkan. Mafhum mukhalafah ini disebut juga dalil khitab.
Macam-macam mafhum mukhalafah :
® Mafhum shifat yaitu
menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
® Mafhum
syarat, yaitu
berlakunya kebalikan hukum sesuatu yang dihubungkan dengan syarat, apabila
syarat itu tidak terdapat padanya.
® Mafhum
gayah, yaitu
berlakunya hukum yang disebut sampai batas waktu yang telah ditentukan dan
kebalikan hukum berlaku setelah batas waktu berlalu.
® Mafhum
adad, yaitu mafhum
dari kata bilangan. Maksudnya, berlakunya kebalikan suatu hukum yang
dihubungkan dengan bilangan tertentu bagi jumlah yang kurang atau lebih dari
yang dinyatakan oleh kata bilangan dalam nash.
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
a.
Mantuqnya tidak menentang atau bertentangan
dengan dalil yang lebih kuat.
b.
Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk imtinan
(mengenang budi).
c.
Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk mengagungkan.
Kehujjahan Dalil Mafhum, menurut jumhur ushuliyah, mafhum
mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara
lain :
·
Berdasarkan
logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan
sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil
yang menunjukan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk targib, tarhib, dan tanfir.
·
Sikap
rasulullah yang tidak menyalahkan umar bin khatab dalam memahami mafhum
mukhalafah dari ayat 101 an-nisa.
Namun, rasulullah menjelaskan bahwa qasar
sholat dalam perjalanan dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
MUJMAL DAN MUBAYYAN
A. Pengertian
1.
Mujmal secara bahasa mubham (yang tidak
diketahui) dan yang terkumpul. Sedangkan menurut istilah suatu perkara yang
belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya perlu penjelasan dari yang
lainnya. Ketidakjelasan tersebut disebut ijmal. Ijmal bisa
terjadi dalam kata-kata tunggal atau jumlah kalimat, yaitu susunan kata-kata atau
tarkib. Dalam kata-kata tunggal ijmal disebabkan oleh:
a. Tasrif kata atau pengambilannya, seperti qaala
dari qaulun (perkataan) atau qailulah (tidur siang).
b. Satu lafazh untuk menunjukan beberapa arti (musytarak).
c. Lafazh yang digunakan untuk menunjukan istilah
syara’ yang tertentu, seperti lafazh, shalat, zakat, puasa, dll.
2. Mubayyan adalah suatu perkataan
yang terang dan jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.
Kejelasan tersebut adakalanya dari:
a)
Manthuq-nya, yaitu:
® Nashnya
®
Zhahir
® Lafazh umum
b)
Mafhum-nya, yaitu:
® Fahwal khitab
® Lahnul khitab
® Dalilul khitab
TAKWIL DAN NASHK
A. Pengertian
1.
Ta’wil menurut bahasa mengandung arti At-Tafsir (penjelasan,
uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’
(balasan yang kembali kepadanya). Sedangkan menurut istilah Imam Al-Ghozali
berpendapat dalam kitab Al-Mustasyfa ta’wil itu merupakan ungkapan
tentang pengambilan makna dari lafadz yang bersifat probabilitas yang
didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukkan oleh lafadz zhahir.
1) Objek Ta’wil
Kajian ta’wil sebagaimana ijtihad dan ra’yu,
tidak menyangkut nash-nash yang qath’i, baik secara khusus maupun
umum, yang merupakan landasan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat umum
atau kaidah-kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum masah furu’,
sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya. Adapun kajian ta’wil
kebanyakan adalah furu’ sebagaimana pendapat imam Asy-Syaukani. Ta’wil
juga tidak membahas tentang lafadz-lafadz yang musytarak.
2)
Dalil-dalil Penunjang Ta’wil
Ta’wil pada dasarnya mencakup
arti yang lemah yang memperlukan dalil untuk memperkuat praduga hasil ta’wil
tersebut, sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi kuat karena sesuai
dengan kemaslahatan umum dan dugaan para mujtahid.
Secara
ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam ta’wil adalah sebagai berikut:
a.
Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.
Ijma’.
c.
Kaidah-kaidah umum syari’at
yang diambil dari Al Qur’an dan sunnah.
d.
Kaidah kaidah fiqih yang
menetapkan bahwa pembentuk syari’at memperhatikan hal-hal yang bersifat
juz’i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar
adanya perbedaan dalam berijtihad dengan ra’yu.
e.
Hakikat kemaslahatan umum.
f.
Adat yang diucapkan dan
diamalkan.
g.
Hikmah syari’at
atau tujuan syari’at itu sendiri yang terkadang berupa maksud yang
berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, , politik , dan akhlaq.
h.
Qiyas
i.
Akal yang merupakan sumber
perbincangan segala sesuatu yang menurut ushuliyyah lebih dikenal dengan
istilah takwil qarib.
j.
Kecenderungan memperluas
pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar umum dalam pembinaan
dalam syari’at yang bersifat ijtihad atau ijtihad dengan ra’yu
juga merupakan tujuan.
3) Landasan
Ta’wil
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai
konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya.
Tiga ketentuan umum yang dapat dijadikan pegangan agar
terhindar dari kesalahan dalam berijtihad juga sebagai cara meng-istimbath
hukum dari nash dengan menggunakan takwil:
a.
Jika artinya itu sudah
tentu mengandung hukum jelas dan dalalahnya qath’i maka tidak boleh ditakwilkan
dengan akal.
b.
Jika arti nash yang
zahir itu berarti umum atau berarti zanni yang tidak pasti wajib
mengamalkan sesuai maknanya karena kejelasan arti dan keberadaannya.
c.
Dibolehkan mengubah
syari’at sesuai dengan arti yang zahir kepada arti lain sepanjang berdasar
dalil pada dalil, bahkan diwajibkan untuk mengompromikan berbagai nash yang
saling bertentangan.
4) Syarat-syarat Ta’wil, yaitu:
a.
Lafadz yag dita’wil harus
betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b.
Tawil itu harus
berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan ta’wil.
c.
Lafadz yang mencakup arti yang dhasilkan
melalui takwil menurut bahasa.
d.
Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah
yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
e.
Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari
arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
2.
Nasakh secara
etimologi adalah
pembatalan atau penghapusan. Sedangkan secara
terminologi Menurut ulama’ Ushul Fiqih adalah penjelasan berakhirnya masa
berlakunya suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian. Para ulama’
Ushul Fiqih mengemukakan bahwa Nhakh baru dianggap benar apabila:
a.
Pembatalan itu dilakukan
melalui tuntunan syara’ yang mengandung hukum.
b.
Yang dibatalkan adalah
hukum syara’ yang disebut dengan mansukh.
c.
Nasikh harus datang
kemudian (terakhir) dari mansukh.
1) Rukun Nasakh, yaitu:
a.
Adat Nasakh, yaitu
pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan).
b.
Nasikh yaitu dalil yang kemudian menghapus dalil yang sudah
ada.
c.
Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan.
d.
Mansukh ‘Anbu, yaitu orang yang dibebani hukum.
2) Hikmah Nasakh yaitu untuk memelihara kemaslahatan umat
baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu persoalan nasakh hanya berlaku ketika
Rasulullah masih hidup.
3) Syarat-syarat
Nasakh
a.
Syarat-syarat yang
disepakati:
®
Yang dibatalkan adalah
hukum syara’.
®
Pembatalan itu datangnya
dari khitbah (tuntutan) syara’.
®
Pembatalan hukum itu tidak
disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan
syara’ itu sendiri
®
Tuntuntan syara’
yang menaskhakan itu datangnya kemudian dari tuntutan syara’ yang dinasakhkan.
b. Syarat yang diperselisihkan
®
Hukum itu tidak
dinasakhkan, kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai kesempatan untuk
melaksanakannya (ulama Mu’tazilah dan Hanafiah).
®
Keluarga Mu’tazilah dan Maturidiyah. Hukum yang
dinasakhkan itu sesuatu yang baik yang pembatalannya dapat diterima akal.
®
Sebagian ulama ushul fiqh
mensyaratkan bahwa terhadap hukum yang dibatalkan itu harus ada penggantinya.
®
Sebagian ulama ushul fiqih
dari kalangan Hanafiyah. Apabila yang dinaskhkan itu adalah ayat Al Qur’an atau
sunnah yang mutawatir, maka yang menasakhkan juga harus yang sederajat atau
sama kualitasnya
®
Imam Syafi’i Al Qur’an
tidak boleh dinasakhkan kecuali dengan Al-Qur’an dan sunnah tidak boleh
dinasakhkan dengan sunnah.
®
Jumhur ulama yang
membatalkan dan yang dibatalkan itu bukan qiyas, artinya qiyas
tidak bisa dinasakhkan Al Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas
lainnya.
®
Jumhur juga mensyaratkan
baik yang menasakhkan maupun yang dinasakhkan itu bukan ijma’, karena
apabila yang dinasakhkan ijma’ itu adalah nash, maka hal itu
tidak mungkin karena ijma’ baru dianggap sah apabila tidak bertentangan
dengan nash.
4) Macam-macam
Nasakh, yaitu:
a.
Nasakh yang tidak ada gantinya.
b.
Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut
adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat.
c.
Nasakh bacaan dari satu ayat, namun hukumnya tetap berlaku.
d.
Nasakh hukum dan ayat sekaligus.
e.
Terjadinya penambahan
hukum dari hukum yang pertama.
5) Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh, yaitu:
a.
Penjelasan langsung dari
Rasulullah SAW.
b.
Dalam suatu nasakh,
terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan
terlebih dahulu.
c.
Berdasarkan keterangan
dari periwayat hadis, yang menyatakan satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan
hadis lain dikeluarkan tahun sekian.
MURADHIF DAN MUSYTARAK
A. Pengertian
1. Muradhif
ialah lafazhnya banyak, sedangkan artinya sama (sinonim), seperti lafazh asad
dan allaits (artinya singa), hinthah dan qamhmum (artinya
gandum).
2. Musytarak
ialah satu lafazh mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti
tersebut berbeda-beda, seperti lafazh jaun yang artinya putih atau
hitam. Apabila arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lainnya majazi,
tidak dikatakan musytarak.
a)
Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz
Musytarak:
® Terjadinya
perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata
untuk menunjukkan terhadap satu makna.
® Antara
kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama (isytirak ma’nawi/persekutuan
batin).
® Mula-mula
satu arti digunakan untuk satu arti, kemudian berpindah pada arti lain dengan
jalan majaz, karena adanya ‘alaqah (hubungannya).
b)
Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut
kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
® Apabila lafadz tersebut
mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan
istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’,
kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti
dalam istilah bahasa.
® Apabila lafadz tersebut
mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah
satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan
salah satu arti tersebut.
® Jika
tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz
lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai
adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan
Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
AMR DAN NAHI
A. Amr (Perintah)
1.
Pengertian
Amr menurut jumhur ulama Ushul, definisi amr
adalah lafazh yang menunjukan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk
mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi diatas tidak hanya ditunjukan pada lafazh
yang memakai sighat amr, tetapi ditunjukan pula pada semua kalimat yang
mengandung perintah, karena kalimat perintah terkadang menggunakan kalimat majazi(samar).
2.
Bentuk-Bentuk
Amr Dan Hakikatnya
Amr itu digunakan
dalam berbagai macam arti. Menurut Al-Amidi mnyebutkan sebanyak 15 makna,
sedangkan Al-mahalli menyebutkan sebanyak 26 makna.
Menurut jumhur
ulama, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti
lain. Kecuali bila ada qarinah.
Madzhab Abu
Hasyim dan sekelompok ulama mutakallimin menyatakan bahwa hakikat amr
adalah nadb.
Amr itu muasytarak antara wajib dan nadb,
pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Qadi Abu
Bakar, Al-Ghazali, dll., menyatakan bahwa Amr itu maknanya bergantung
pada dalil yang menunjukan maksudnya.
3.
Keadaan Amr
Bila Tidak Disertai Qarinah
Hazm
berpendapat bahwa amr dalam Al- quran, sungguhpun disertai qarinah
yang menunjukan wajib, kecuali ada nash lain atau ijma yang
memalingkan pengertian amr dari wakib. Sedangkan jumur ulama
bahwa tidak ada qarinah menunjukan wujub. Sebaliknya, adanya
suatu qarinah sudah cukup mengubah hakikat arti amr. Dari kedua
sikap ulama diatas ada dampak luas pada penetapanhukum.
4.
Perintah Setelah
Adanya Kejadian
Para ulama
telah sepakat tentang amr terhadap sesuatu dari yang tidak ada
sebelumnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, para ulam terbagi
pada tiga golongan:
a. Menunjukan mubah, karena amr yang belum ada
sebelumnya secara bahasa juga menunjukan wajib.
b. Menunjukan wajib, karena suatu kalimat yang
menunjukan kata amr itu menunjukan wajib.
c. Perintah setelah adanya kejadian telah
menghilangkan kejadian tersebut.
d. Amr tidak menuntut dilaksanakan terus menerus.
Amr tidak menuntut untuk dilaksanakan secara
langsung atau ditunda-tunda, namun
berdasarkan ketentuan-ketentuan:
a. Pelaksanaan segera atau menunda-nunda adalah
tambahan dari shigat amr yang mutlaq menurut bahasa.
b. Sesungguhnya yang ditiuntut oleh amr
itu pelaksanaannya, bukan dilihat dari pelaksannaannya secara langsung atau
ditunda-tunda.
c. Jika amr diiringi oleh qarinah yang
menuntut untuk dilasanakan secara langsung, maka harus dilaksanakan secara
langsung berdasarkan ijma’.
d. Bila amr dibatasi oleh waktu maka
habislah perintah tersebut bila havis waktunya, seperti ibadah puasa.
e. Bila amr itu memerlukan pelaksanaan
secara langsung maka harus dilaksanakan secara langsung.
f. Bersegera dalam melaksanakan amr itu
sunah.
B.
Nahyi
(Larangan).
1.
Pengertian
Menurut ulama
ushul nahyi adalah lafazh yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan
sesuatu (tuntutan yang harus dikerjakan) dari atas kepada bawahan. Nahyi
itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
2. Makna Shighat Nahyi
Hakikat
dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih
makna, kecuali bila ada suatu qarinah. Perbedaan pendapat mengenai
hakikat tahrim, karahah, atau keduanya:
a.
Hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah, kecuali
dengan qarinah.
b.
Nahyi yang tidak disertai qarinah menunjukan karahah.
c.
Musytarak antara tahrim
dan karahah, baik isytirak lafazhi maupun isytarak maknawi.
d.
Hakikat tuntutan nahyi
itu tasawuf.
3.
Nahyi Menuntut Untuk Meninggalkan Secara Langsung
Sesungguhnya nahyi
itu menunjukan untuk meninggalkan secara langsung dan terus menerus, karena
pelaksanaannya terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi. Hal
itu merupakan ijma dari ulama, masa sahabat dan tabi’in.
4.
Kaitan Nahyi Dengan
Fasad dan Buthlan
Dua hal penting yang
berkaitan dengan masalah nahyi, yaitu:
a.
Ihwal nahyi, hal ihwal nahyi dapat dikelompokan pada empat macam:
® Nahyi itu berada secara mutlaq,
yakni tanpa ada qarinah yang menunjukan sesuatu yang dilarang,
® Perbuatan indrawi: suatu perbuatan yang dapat diketahui
secara indrawi, yang wujudnya tidak bergantung pada syara’. Sedangkan
tindakan syara’: segala perbuatan syara’ yang bergantung pada syara’.
® Nahyi itu kembali pada dzatiyah
perbuata,.
® Nahyi melekat pada suatu yang
dilarang, bukan pada pokoknya.
® Nahyi kembali pada sifat yang
berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa terpisah dari
perbuatan yang lain.
b.
Pengertian sah, batal, dan
fasad
Sah dalam ibadah ialah
sesuatu perbuatan itu telah gugur karena telah digunakan. Batal dalam ibadah
ialah tidak gugurnya suatu perbuatan yang diwajibkan. Adapun arti fasad menurut
jumhur sama dengan batal.
TA’ARUDH DAN TARJIH
A. Ta’arud Al-Adhillah
1. Pengertian
Kata Ta’arud,
secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-Adillah ialah bentuk jamak dari
kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil. Sedangkan secara
terminologi iman Asy-Syaukani berpendapat Ta’arud al-Adillah adalah suatu dalil
yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain
menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu
Persoalan
ta’rud al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada pertentangan ntara dua
dalil, atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara zhahir pada derajat
yang sama.
2.
Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah
a.
Menurut Hanfiyah
Para ulama Hanafiah dan Hanabilah
berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua
dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut.
®
Nasakah adalah membatalkan dalil yang sudah
ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.
®
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil
dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang terkandung ketetapan
tersebut.
®
Al-Jam’wa At-Taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah
mengumpulkan keduanya, berdasarkan kaidah, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik
daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
®
Tasaqut Ad-Dalain adalah menggurkan kedua dalil yang
bertentangan dengan mencari yang lebih rendah.
b.
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah
Cara penyelesaian Ta’arudh
al-Adillah, menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:
®
Jamu’wa
al-Taufiq cara untuk menyelesaikan dua dalill yang bertentangan adalah
dengan mengompromikan kedua dalil tersebut alasan mereka adalah kaidah
menyatakan, “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang salah”.
®
Tarjih yakni menguatkan salah satu dalil.
®
Naskh yakni membatalkan salah satu hukum
yang dikandung dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu,
mana dalil yang pertama dan mana dalil yang dating kemudian.
®
Tatsaqut al-Dalilain yakni meninggalkan kedua dalil tersebut
dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah.
B.
Tarjih
1.
Pengertian
Secara bahasa tarjih
berarti menguatkan. Sdangkan secara terminologi Ulama’ Hanafiyah berpendapat
bahwa tarjih adalah Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari
dua dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu ridak berdiri
sendiri.
2.
Cara Pen-Tarjih-an
a.
Tarjih bain al-Nushush, terbagi menjadi
beberapa bagian’ seperti:
Dari segi sanad:
® Menguatkan
salah satu nash dari segi sanadnya.
® Pen-tarjih-an
dengan melihat riwayat itu sendiri.
® Pen-tarjih-an
melalui cara menerima hadis dari rasul.
Dari segi matan:
® Teks yang
mengandung larangan diutamakan dari pada teks yang mengandung perintah, karena
menolak kemadaratan lebih utama daripada mengambil manfaat.
® Teks yang
mengandung perintah didahulukan dari pada teks yang mengandung kebolehan.
® Makna hakikat
dari suatu lafazh lebih diutamakan dari pada makna majazi-nya.
® Dalil husus
diutamakan daripada dalil umum.
Dari segi hukum:
®
Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur
lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.
®
Dikalangan para ulama telah terjadi perbedaan
pendapat tentang teks yang bersifat menetapkan, dengan teks yang memindahkan.
®
Teks yang mengandung hukuman lebih ringan
didahulukan dari pada teks yang didalamnya mengandung hukuman berat.
Referensi : Buku
Ilmu Ushul Fiqih karangan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si
Buku
Ilmu Ushul Fiqih karangan Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA.